TEMPO.CO, Surabaya - Sejumlah mantan aktivis serta simpatisan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang tergabung dalam #KawanHermanBimo melakukan peluncuran terbatas film dokumenter berjudul Yang (Tak Pernah) Hilang, Rabu, 7 Februari 2024.
Pemutaran pertama film tersebut dilaksanakan di Ruang Adi Sukadana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga atau Unair, Surabaya. Soft launching itu dihadiri oleh para mantan aktivis gerakan mahasiswa 1998 dan mahasiswa lintas kampus.
Guru besar Fisip Unair Hotman Siahaan dan pengajar ilmu politik Airlangga Pribadi turut menyaksikan film berdurasi dua jam itu. Hadir juga mantan dosen Fisip Unair yang juga anggota PRD 1997-1998, Dede Oetomo.
Film tersebut menceritakan perjalanan hidup dua mahasiswa Fisip Unair Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah, sejak masa anak-anak hingga akhirnya hilang diculik aparat keamanan di Jakarta pada 1998.
Tim pembuat film turun langsung ke Pangkalpinang, Bangka Belitung, menemui keluarga dan rekan-rekan Herman Hendrawan. Tim juga mendatangi keluarga Petrus Bima Anugerah alias Bimo Petrus di Malang, Jawa Timur. Masa kecil Herman dan Bimo Petrus terekam dengan baik dalam film tersebut.
Film juga menampilkan testimoni para aktivis PRD dan SMID dalam aktivismenya bersama Herman Hendrawan dan Bimo Petrus sejak dari Surabaya hingga pindah ke Jakarta. Mereka juga menceritakan detik-detik terakhir berkomunikasi dengan Herman dan Bimo Petrus sebelum penculikan terjadi.
Film Yang (Tak Pernah) Hilang tak lupa menyorot rumah kontrakan mahasiswa Unair yang tergabung dalam SMID di Jalan Kedungtarukan II Nomor 22 Surabaya. Di rumah itulah embrio gerakan SMID dimulai pada 1994-1995 hingga akhirnya menjalar dengan cepat ke berbagai kampus.
Produser Yang (Tak Pernah) Hilang, Dandik Katjasungkana, mengatakan pembuatan film yang dimulai sejak 2019 itu sempat terhenti karena Covid-19. Selain terganggu pandemi, proses produksi juga tersendat karena penggagas film tersebut, Hari Nugroho, meninggal dunia pada 2020 lantaran hipertensi.
Dandik membantah soft launching film itu untuk mempengaruhi proses pemilu presiden karena ada kontestan yang diduga berkaitan erat dengan peristiwa penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997-1998.
“Tidak, karena kami memutar film ini dengan audience yang terbatas dan terseleksi. Kami sebisa mungkin menghindari salah satu calon presiden, sehingga jangan sampai isu besar kemanusiaan soal penghilangan paksa yang kami angkat dalam film ini akhirnya dianggap recehan,” ujar koordinator Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur itu.
Ihwal mengapa soft launching itu bersamaan dengan momentum pemilu, menurut alumi Fisip Unair 1991 ini karena sebagai bentuk pertanggung jawaban mereka kepada publik. Sebab, kata dia, #KawanHermanBimo sudah lama berproses membuat film dokumenter itu.
“Prosesnya terbuka, kami umumkan ke publik dengan harapan mendapatkan umpan balik, simpati, dukungan moril maupun materiil. Sehingga kalau soft launching film ini kami tunda-tunda lagi, tidak bagus juga bagi pertanggungjawaban pada publik,” kata Dandik.
Dosen Fisip Unair Airlangga Pribadi menilai film Yang (Tak Pernah) Hilang sangat bagus karena membongkar stigma dan hegemoni yang dipertontonkan elite politik maupun penguasa sejak era Soeharto hingga sekarang bahwa kalangan mahasiswa prodemokrasi yang berani mengguat kekuasaan sering dicitrakan sebagai kriminal.
"Ternyata kita bisa melihat di sini bahwa mereka yang berjuang ternyata adalah orang-orang yang mencintai negaranya, mereka memiliki wawasan serta visi mendalam tentang demokrasi. Mereka mengorbankan semuanya untuk perubahan keadilan di Republik ini,” kata Airlangga.
Pilihan Editor: Pengunjung Konser Salam Metal Tulis Pesan Usut Kasus Penculikan Aktivis 1998