TEMPO.CO, Jakarta - Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran mengungkap adanya rencana perusakan surat suara pasangan nomor 02 beserta lembaran suara calon anggota DPR dari tiga partai di Jawa Tengah oleh salah satu petinggi partai. Rencana perusakan surat suara itu disebut mengandung terpenuhinya unsur pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM.
“Cara merusak surat suara tersebut dengan menggunakan paku yang di pasang di meja KPPS,” kata Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman, dalam keterangan tertulis, Ahad, 28 Januari 2024.
Rencana perusakan surat suara pemilih menggunakan paku itu, kata Habiburokhman, mengandung terpenuhinya unsur pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif di Jawa Tengah. Selain di Jawa Tengah, dugaan pelanggaran netralitas terjadi dalam rapat koordinasi Komisi Pemilihan Umum atau KPU Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Wakil Komandan Tim Hukum TKN Prabowo-Gibran, Fritz Edward Siregar menyampaikan dua kejadian ini mengindikasikan terpenuhinya unsur kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. “Harus diingat bagi para penyelenggara Pemilu yang terindikasi curang ini ada pidana penjaranya," kata bekas anggota Bawaslu itu.
Istilah terstruktur, sistematis, dan masif memang acap muncul dalam pemilihan umum atau Pemilu. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kecurangan yang terjadi dalam pemungutan suara. Pada Pilpres 2014 lalu, saat kontestasi diikuti pasangan Joko Widodo atau Jokowi – Jusuf Kalla atau JK dan pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, istilah tersebut juga muncul.
Jokowi-JK menang menurut hitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, kubu Prabowo-Hatta tak menerima hasil tersebut. Mereka menggugat putusan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tudingan salah satunya KPU melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilpres 2014. Gugatan tersebut ditolak MK.
Pada Pilpres 2019, istilah TSM kembali muncul. Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno memutuskan mengajukan sengketa hasil Pilpres 2019 ke MK. Lagi-lagi alasannya adan pelanggaran Pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Memandang miris terhadap hukum yang dianggap tak lagi dapat dipercaya, mereka pun mengajukan gugatan ke MK.
Lantas apa itu terstruktur, sistematis, dan masif alias STM?
Menurut Mantan hakim MK Maruarar Siahaan, terstruktur adalah kecurangan dilakukan penyelenggara pemilu atau pejabat dalam struktur pemerintahan untuk memenangkan salah satu calon. Sistematis artinya pelanggaran tersebut dilakukan dengan perencanaan dan pengoordinasian secara matang. Sedangkan masif, berarti pelanggaran dilakukan di seluruh tempat pemungutan suara.
“Masif juga bisa berarti keberlanjutan dari terstruktur dan sistematis,” ujar Maruarar saat dihubungi, Rabu, 20 Agustus 2014.
Dikutip dari studi Tafsir Konstitusional Pelanggaran Pemilukada yang Bersifat Sistematis, Terstruktur dan Masif (2012) dalam Jurnal Konstitusi oleh M. Mahrus Ali dkk, dalam praktik putusan MK pola pelanggaran termasuk pelanggaran TSM, antara lain:
1. Manipulasi syarat administrasi pencalonan.
2. Politik uang (Money Politics).
3. Politisasi birokrasi.
4. Kelalaian petugas penyelenggara pemilu.
5. Memanipulasi suara.
6. Ancaman / intimidasi.
7. Netralitas penyelenggara Pemilu.
Berdasarkan karakteristik TSM tersebut, Mahrus Ali dkk menyimpulkan bahwa yang dimaksud TSM menurut putusan-putusan MK yaitu;
1. Pelanggaran itu bersifat sistematis, artinya pelanggaran ini benar-benar direncanakan secara matang (by design).
2. Pelanggaran itu bersifat terstruktur, artinya pelanggaran ini dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilu secara kolektif bukan aksi individual.
3. Pelanggaran itu bersifat masif, artinya dampak pelanggaran ini sangat luas dan bukan sporadis.
Awal mula munculnya istilah terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilu
Munculnya istilah terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilu ternyata digawangi oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Menurut dia, istilah TSM lahir pertama kali saat Pilkada Jawa Timur 2008. Saat itu terjadi sengketa lantaran Khofifah-Mudjiono menemukan adanya sejumlah kecurangan tim Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam pemungutan suara putaran kedua.
“Kami menolak hasil penghitungan dan melanjutkan proses hukumnya ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Khofifah dalam jumpa pers yang digelar di Rumah Makan Agis, Jalan Letjen Sudirman Bo 197, Surabaya, pada Selasa sore, 11 November 2008.
Menurut Khofifah saat itu, banyak ditemukan kecurangan dalam Pilkada Jatim 2008 putaran kedua. Ia mencontohkan pelanggaran di Madura, penghitungan dengan basis desa bukan TPS, banyak formulir C1 yang dicoret dan di-tipe-X, dan ditemukan TPS di pinggir jalan. MK lalu mengabulkan sebagian permohonan Khofifah karena dianggap ada pelanggaran secara TSM di Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan.
Kasus sengketa Pilkada Jatim 2008 kemudian menjadi salah satu preseden yang diacu oleh Tim BPN Prabowo-Sandiaga Uno dalam sidang sengketa Pilpres 2019. Menanggapi kasusnya dijadikan sebagai acuan oleh Prabowo-Sandiaga Uni, Khofifah pun buka suara. Menurut dia, TSM kala itu berdasar kuantitatif, bukan kualitatif seperti Tim Prabowo.
“TSM itu (istilah dari) aku, terstruktur, kita bisa ini terstruktur, ini sistematis, ini masif,” kata Khofifah saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 18 Juni 2019. “Dengan angka-angka, dengan saksi-saksi. Kalau misalnya berapa TPS, ya berapa TPS. Mungkin kan tidak signifikan. Jenenge masif iku, yo roto (namanya masif itu, ya rata).”
HENDRIK KHOIRUL MUHID | IKHSAN RELIUBUN | REZA ADITYA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | FRISKI RIANA
Pilihan Editor: Bawaslu: Pembuktian Pelanggaran TSM Syaratnya Sangat Berat