TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Pusat atau PP Muhammadiyah menyoroti ucapan Presiden Joko Widodo atau Jokowi bahwa presiden boleh kampanye dan memihak di pemilihan umum atau Pemilu 2024. Muhammadiyah menganggap pernyataan Jokowi menimbulkan polemik di ruang publik.
"Melihat pernyataan terakhir Presiden terkesan apa yang beliau sampaikan sebuah kebenaran yang harus didukung atau setidaknya tidak ditolak. Pernyataan dimaksud tidak lain merupakan upaya mencari pembenaran," kata Ketua Pengurus Pusat Bidang Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Muhammadiyah Trisno Raharjo, dalam keterangan tertulis, Ahad, 28 Januari 2024.
Presiden Jokowi mengatakan "hak demokrasi, hak politik setiap orang, setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh kampanye lho, boleh lho memihak". Pernyataan ini menuai kontroversi di masyarakat. Meski pada kesempatan yang sama, dia menyatakan kampanye itu tidak menggunakan fasilitas negara.
Jokowi kembali memberikan klarifikasi. Alih-alih meralat pernyataannya tersebut, kata Trisno, Jokowi justru menyebut ucapannya sudah sesuai dengan Undang-Undang Pemilu.
Jokowi mengutip ketentuan Pasal 299 dan Pasal 281. "Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," kata Jokowi.
Trisno mengatakan pernyataan Presiden Jokowi tak bisa dilihat dari kacamata normatif semata, melainkan harus ditinjau dari optik lebih luas, yakni dari sudut pandang filosofis, etis dan teknis. "Pertanyaannya, apakah pernyataan Presiden Joko Widodo ini dapat dibenarkan baik dari sudut pandang hukum maupun etika?" ujarnya.
Pertama, dari sudut pandang normatif. Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu menyatakan presiden dan wakil presiden berhak melaksanakan kampanye. Namun Trisno menjelaskan, pasal itu tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
Menurut Trisno, pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekadar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat 1 UU Pemilu. Bagaimana pendidikan politik masyarakat tercapai jika presiden dan eakil presiden aktif mempromosikan salah satu kontestan dan berpotensi menegasi kontestan lainnya.
Dengan itu, Trisno berujar pernyataan Jokowi bahwa presiden dibenarkan secara hukum melakukan kampanye dan berpihak, merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan pemilu itu sendiri.
Kedua, dari sudut pandang filosofis, Trisno mengatakan presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat. Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu. "Presiden berkewajiban memastikan penyelenggaraan pemilu berintegritas, memastikan penggantinya adalah sosok berintegritas," ujar dia.
Selain itu, presiden sebuah jabatan publik, pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi. "Pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu sehingga seharusnya memang tidak ada aktivitas lain selain aktivitas yang melekat pada jabatan," ujar dia.
Berdasarkan hal diatas, Trisno mengatakan, secara filosofis posisi presiden adalah pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan untuk semua kontestan. "Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat," kata dia.
Ketiga, Trisno menjelaskan sudut pandang etis. Menurut dia, sumpah jabatan penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada Pancasila dan UUD 1945. Kesetiaan ini harus diwujudkan di segala aktivitasnya. Bahkan, meski presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi presiden, dia wajib tunduk pada rakyat. "Bukan pada partai politik pengusung," tutur dia.
Selanjutnya, di luar itu, Jokowi akan selalu dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apa pun. Bahkan aktivitas keseharian yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, penyelenggaraan pemerintahan seperti pembagian bantuan sosial akan secara langsung dan tidak langsung “dianggap” sebagian masyarakat sebagai “bantuan Jokowi”.
Faktanya, Trisno berujar kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan dari presiden dan sebagian menterinya untuk memposisikan “bantuan sosial” itu sebagai “bantuan Jokowi”.
Pilihan Editor: Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak dalam Pemilu, Ketua BEM Unpad: Memalukan!