TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi soal presiden boleh kampanye dan memihak dalam Pemilu mendapatkan tanggapan dari sejumlah pakar hukum tata negara dan pengamat politik. Mereka ramai-ramai mengkritik Jokowi.
Jokowi sebelumnya menyatakan presiden memihak dan berkampanye dalam pemilu dibolehkan. Tak hanya presiden, dia mengatakan menteri juga diperbolehkan memihak dan berkampanye. Yang paling penting, menurut Jokowi, adalah tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara.
“Presiden itu boleh kampanye. Boleh memihak. Kita ini kan pejabat publik, sekaligus pejabat politik. Masa ini enggak boleh,” kata Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu, 24 Januari 2024.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra membenarkan dan mendukung pernyataan Jokowi yang menyebut bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak. Menurut Yusril, tak ada yang salah dari sikap Jokowi. “Presiden dan Wakil Presiden serta para Menteri tidak termasuk dalam pejabat negara yang dilarang berkampanye,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya pada Rabu, 24 Januari 2024.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang masuk dalam koalisi calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto itu menjelaskan, presiden dan wakil presiden pada dasarnya diperbolehkan untuk berkampanye, baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan anggota legislatif. Presiden dan wakil presiden tidak termasuk dalam pejabat yang dilarang berkampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU Pemilu.
“Pejabat-pejabat negara yang tidak boleh kampanye, antara lain ketua dan para hakim agung, ketua dan para hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan seterusnya,” ujarnya.
Berikut tanggapan pakar hukum tata negara dan pengamat ihwal pernyataan Jokowi soal presiden boleh kampanye dan memihak dalam pemilu
1. Peneliti Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Poltak Partogi Nainggolan
Poltak Partogi Nainggolan merespons pernyataan Jokowi soal presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak di Pemilu asal tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Menurutnya, pernyataan Jokowi tersebut mempertontonkan permainan kekuasaan kepada masyarakat. Ia menyebut, situasi saat ini amat mengkhawatirkan. Padahal Pemilu 2024 tinggal tiga minggu lagi.
“Yang kita lihat adalah permainan kekuasaan. Masyarakat dan media massa perlu sadar. Bisakan kita bisa menciptakan fair election (pemilu yang adil)?” kata dia saat diskusi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bertajuk Pemilu Curang dalam keterangan tertulis Kamis, 25 Januari 2024.
2. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti
Bivitri Susanti menilai ucapan Jokowi tentang presiden dan menteri boleh memihak serta berkampanye dalam pemilu merupakan alasan sahih pemakzulan presiden. Menurut dia, ucapan Jokowi itu merupakan perbuatan tercela yang merupakan salah satu syarat pemakzulan. Bivitri merujuk kepada Pasal 7A UUD 1945 yang memuat syarat-syarat pemberhentian presiden.
“Menurut saya, ini adalah alasan yang sahih untuk sebuah proses pemakzulan, karena ini merupakan perbuatan tercela,” kata Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu, 24 Januari 2024.
Pasal tersebut menyatakan presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan jika terbukti telah melanggar hukum: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Presiden dan wakil presiden juga dapat diberhentikan bila terbukti tak lagi memenuhi syarat.
Menurut Bivitri, perbuatan tercela sebagai syarat pemakzulan harus dilihat dalam konteks jabatan presiden. Ia mengatakan perbuatan tercela presiden tidak dinilai secara personal. Dia mengatakan keberpihakan presiden dan menteri dalam pemilu akan berdampak buruk kepada demokrasi. Menurut dia, keberpihakan presiden merupakan bahaya dari nepotisme yang selama ini digaungkan.
“Bagaimana mungkin presiden bakalan diam saja kalau anaknya memang nyalon juga,” ujar Bivitri.
3. Pengamat politik Ujang Komarudin
Ujang Komarudin menyoroti status kenegarawanan Presiden Jokowi atas pernyataan mengenai keberpihakan presiden dalam pemilu. Walau mendapat respons kritis dari publik, celah aturan yang memungkinkan presiden berpihak dan berkampanye dalam kontestasi politik dianggap menjadi alasan Jokowi terang-terangan menunjukkan dukungan ke salah satu kandidat.
“Yang harus jadi perhatian presiden adalah jiwa negarawan. Kalau berjiwa negarawan, kepentingan untuk masyarakat, bangsa, dan negara bukan dukung-mendukung,” kata dosen Ilmu Politik Universitas Al-Azhar Indonesia ini saat dihubungi pada Rabu, 24 Januari 2024.
Menurut Ujang, netralitas Jokowi dapat dipertanyakan publik. Tetapi jika aturan memungkinkan untuk kampanye dengan prasyarat cuti tidak dan menggunakan fasilitas negara, tidak ada yang bisa menghentikan presiden. Pernyataan Jokowi itu, kata dia ,tampak sudah diukur untuk mengerek elektabilitas Prabowo-Gibran yang mandek di angka 40 persenan lebih.
“Makanya dia turun gunung, kampanye langsung,” katanya.
4. Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati
Neni Nur Hayati juga menanggapi pernyataan Presiden Jokowi soal presiden boleh berkampanye dan memihak dalam Pemilu. “Presiden kerap sampaikan tidak akan cawe-cawe untuk Pemilu 2024. Namun hanya sekadar di mulut tidak diejawantahkan dalam bentuk tindakan,” kata Neni, dalam keterangan tertulis di aplikasi perpesanan, Rabu, 24 Januari 2024.
Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat Muhammadiyah ini menyatakan dirinya tak bisa menjamin Presiden Jokowi akan netral. Ia mengkhawatirkan segala sumber daya kekuasaan, anggaran, dan program saat ini, digunakan memenangkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka. Gibran merupakan calon wakil presiden dari Prabowo Subianto
“Abuse of power in election benar-benar terasa. Apalagi presiden punya kekuatan dan kekuasaan yang demikian besar,” katanya.
Selanjutnya: Ubedilah Badrun: Terang benderang melanggar-undang-indang