TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka memberikan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai pertambangan ilegal, yang sebelumnya ditanyakan kepada calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD.
Dalam debat cawapres pada 21 Januari 2024, Gibran menyatakan bahwa solusi simpel dari pasangan Prabowo-Gibran adalah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan kepada praktik pertambangan ilegal.
"Prof. Mahfud, dari pasangan Prabowo-Gibran simpel saja solusinya. IUP (Izin Usaha Pertambangan)-nya dicabut, izinnya dicabut, simpel,” ujar Gibran pada Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad, 21 Januari 2024.
Gibran menjelaskan bahwa tindakan ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 dan 4, serta sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila keempat dan kelima. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan sumber daya alam sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Warganet kemudian menyentil, yang menjadi pertanyaan mengatasi pertambangan ilegal. Tentu saja pertambangan ilegal tidak memiliki izin usaha pertambangan resmi. Bagaimana mungkin tak punya IUP tapi dicabut IUP-nya?
Pengamat pertambangan sekaligus Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman mengatakan pemberantasan tambang ilegal butuh komitmen nyata pemerintah, terutama presiden. Ia merespons pernyataan calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka yang akan mencabut izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk menghentikan praktik ilegal, ketika Debat Cawapres 2024 pada Minggu malam, 21 Januari 2024.
“Kalau mau berantas tambang ilegal, benahi dulu rahim kekuasaan,” kata Ferdy ketika dihubungi Tempo, Senin, 22 Januari 2024.
Namun, menurut Mahfud solusi pencabutan izin usaha itu tidak mudah karena banyak mafia yang terlibat. "Mau cabut IUP justru itu masalahnya. Mencabut IUP itu banyak mafianya, saya sampai pernah kirim tim ke lapangan, sudah sampai putusan MA pun untuk cabut IUP, selama 1,5 tahun tidak dilaksanakan aparat," kata Mahfud.
Mahfud MD, juga menyinggung keterlibatan aparat dan penguasa di balik tambang ilegal. Mahfud menekankan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkapkan bahwa banyak tambang ilegal di Indonesia mendapat perlindungan dari aparat dan pejabat. Mahfud juga menyoroti kendala yang dihadapi dalam mencabut IUP, yang dihadapi oleh mafia yang terlibat dalam praktik tersebut.
Sementara itu menurut pengamat pertambangan dan peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman mengingkapkan bahwa upaya pemberantasan tambang ilegal memerlukan komitmen nyata dari pemerintah, terutama dari presiden.
“Kalau mau berantas tambang ilegal, benahi dulu rahim kekuasaan,” kata Ferdy ketika dihubungi Tempo, Senin, 22 Januari 2024.
Menurut Ferdy, para pelaku tambang ilegal kemungkinan telah berkolaborasi dengan pihak berkuasa, termasuk penguasa lokal dan aparat keamanan, bahkan dengan polisi dan jenderal, tanpa diketahui secara pasti. Oleh karena itu, menurutnya, langkah pemberantasan harus dimulai dengan komitmen yang tegas dari presiden.
Ia menekankan bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (Menko Polhukam) serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memerlukan dukungan langsung dari presiden, karena mereka akan berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
"Pemberantasan tambang ilegal memerlukan kehendak politik seorang presiden," kata Ferdy. Ia menyoroti bahwa selama ini Presiden Jokowi tampaknya membiarkan Menteri ESDM dan Dirjen Minerba beroperasi sendiri, meskipun situasinya sulit di lapangan.
Prosedur Pencabutan IUP
Berdasarkan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pencabutan itu dilakukan oleh menteri.
Mengacu peraturan hukum itu, menurut Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto jika pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam izin tersebut, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, terlibat dalam tindak pidana, atau dinyatakan pailit.
Sugeng menjelaskan bahwa proses pencabutan IUP, sesuai dengan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2001, dimulai dengan sanksi administratif seperti peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan akhirnya pencabutan izin.
Dilansir dari dpr.go.id, hal itu disampaikan Sugeng dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba KESDM di Gedung Nusantara I pada 31 Maret 2022.
Dalam rapat itu juga, Sugeng menyampaikan bahwa Komisi VII telah mendengarkan keluhan dari pelaku usaha pertambangan terkait pencabutan izin tersebut. Dia juga mengungkapkan dugaan bahwa pencabutan izin oleh Kementerian Investasi/BKPM dapat melanggar kewenangan yang diatur dalam UU Minerba.
"Pencabutan Izin Usaha Pertambangan tanpa melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan berdampak pada tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investasi sektor pertambangan yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan negara juga berpotensi kehilangan penerimaan di sektor pertambanga. Padahal saat ini negara sedang memacu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pasca covid 19," katanya.
ANANDA BINTANG I AMELIA RAHIMA SARI I RIRI RAHAYU
Pilihan Editor: Gibran Mau Cabut Tambang Ilegal, Pengamat: Benahi Dulu Rahim Kekuasaan