TEMPO.CO, Jakarta - Debat cawapres putaran kedua baru saja digelar pada Ahad, 21 Januari 2024 lalu. Pasca-sebelumnya, pada debat cawapres putaran pertama, cawapres nomor urut dua, Gibran Rakabuming menanyakan perihal State of the Global Islamic Economy (SGIE) terhadap cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau yang akrab dipanggil Cak Imin–pada debat kemarin Gibran juga bertanya ke Cak Imin dengan teknik serupa. Kali ini, Gibran bertanya tentang lithium ferro-phosphate (LFP) terhadap Cak Imin.
“Gus Muhaimin paslon nomor 1 dan tim suksesnya sering menggaungkan LFP, LFP, lithium ferro-phosphate. Saya enggak tahu ini pasangan nomor satu ini anti nikel atau gimana mohon dijelaskan,” kata anak Jokowi itu.
Cak Imin pun merespons pertanyaan Gibran dengan menerangkan pentingnya etika dalam pertanyaan atau pemaparan pada saat debat.
“Tenang Pak Gibran kita diskusi di sini bukan tebak-tebakan definisi tebak-tebakan singkatan kita levelnya adalah policy dan kebijakan. Apa pun yang kita gunakan seluruh potensi bangsa ini rujukannya adalah etika lingkungan komitmen kita intinya adalah keseimbangan antara meletakkan manusia dan alam keseimbangan ini tidak bisa ditawar-tawar,” kata Cak Imin.
Kesal pertanyaannya tidak terjawab, Gibran pun merespons bahwa jawaban Cak Imin aneh dan tidak substantif. Anak Presiden Jokowi itu juga menimpali bahwa pasangan calon nomor urut satu, Anies-Muhaimin tidak menawarkan program kerja yang menguatkan bargaining position yang dimiliki oleh sumber daya alam Indonesia.
“Ini agak aneh ya. Yang sering ngomongin LFP itu timsesnya, tapi cawapresnya gak paham apa LFP itu apa. Kan aneh sering bicara LFP, LFP, lithium ferro-phosphate. Tesla nggak pakai nikel ini kan kebohongan publik mohon maaf Tesla itu pakai nikel Pak dan Kita sekarang kita itu Indonesia itu adalah negara yang punya cadangan nikel terbesar sedunia. Ini kekuatan kita ini bargaining kita jangan malah membahas LFP itu sama saja mempromosikan produknya China, Pak,” kata Gibran.
Apa sebenarnya LFP dan bagaimana potensi yang Indonesia miliki
Dilansir dari CNN Business, Baterai LFP, atau yang dikenal sebagai baterai lithium iron phosphate, adalah jenis baterai litium-ion yang menggunakan besi fosfat sebagai material katoda. Baterai LFP dikenal karena kepadatan energinya yang tinggi, umur panjang, dan kinerja baik pada suhu tinggi.
Lithium iron phosphate (LiFePO4) dan baterai litium-ion umumnya digunakan dalam kendaraan listrik. Di sisi lain, baterai litium-ion adalah jenis yang dapat diisi ulang sehingga banyak digunakan dalam kendaraan listrik (EV).
LFP lebih diminati dalam EV karena kepadatan energinya yang tinggi, yang memungkinkan LFP menyimpan sejumlah besar energi dalam paket yang relatif kecil dan ringan. Hal ini membuatnya pilihan yang efisien dan praktis untuk memberdayakan EV, yang perlu mampu melakukan perjalanan jarak jauh dengan sekali pengisian.
Baterai LFP, yang pertama kali muncul pada tahun 1997 dari lab profesor John Goodenough dari University of Texas, awalnya menghadapi tantangan karena kepadatan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan baterai litium-ion, yang menjadi standar di Amerika.
Produsen mobil Amerika, yang memprioritaskan jarak tempuh EV, sebagian besar menghindari LFP demi baterai litium-ion yang memerlukan logam langka dan kontroversial seperti kobalt dan nikel. Sebaliknya, produsen mobil China memilih menggunakan teknologi LFP untuk kendaraan jarak pendek. Saat ini, 44 persen kendaraan listrik yang dijual di China menggunakan baterai LFP, dibandingkan dengan 6 persen di Eropa dan 3 persen di AS dan Kanada.
Kemajuan dalam teknologi baterai LFP telah meningkatkan jangkauannya, menjadikannya lebih kompetitif. Tesla, khususnya, telah mengadopsi baterai LFP dalam sebagian besar kendaraan jarak tempuh standarnya, memberikan jangkauan yang sebanding dengan kendaraan yang menggunakan baterai litium-ion berbasis nikel dan kobalt.
Selain keuntungan menghindari proses ekstraksi kobalt dan nikel yang kontroversial, baterai LFP menawarkan manfaat stabilitas dan keamanan. Mereka lebih tidak mungkin terbakar, memungkinkan pengurangan tindakan keamanan.
LFP juga memiliki siklus hidup yang lebih panjang dan dapat diisi hingga 100% secara teratur tanpa dampak signifikan pada umur baterai. Selain itu, mereka memiliki emisi gas rumah kaca 20 persen lebih sedikit per unit energi dibandingkan baterai nikel dan kobalt.
Meskipun tetap mendapat tentangan dari pemerhati lingkungan, beberapa produsen mobil selain Tesla, seperti Rivian, VW, dan Ford, menyatakan minat mereka pada teknologi LFP. Sambil mengakui potensi manfaat, para pemangku kepentingan mempertimbangkan implikasi peningkatan ketergantungan pada pemasok China dan tantangan potensial dalam daur ulang saat industri otomotif menjelajahi alternatif untuk baterai litium-ion tradisional.
Dikutip dari Koran Tempo, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Tata Kelola dan Mineral Batu Bara Irwandy Arif,mengatakan, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Oleh karena itu, Indonesia sangat berpotensi menjadi penghasil baterai listrik dunia
“Yakni 22 persen di dunia," kata Irwandy saat membuka acara Electic Vehicle (EV) & Battery Conference 2023 mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif, di Hotel Borobudur Jakarta, pada Selasa, 21 November 2023.
Pilihan Editor: Tanggapan Gibran Soal LFP, Muhaimin: Jangan Tebak-tebakan Definisi di Sini