INFO NASIONAL - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo akan merilis buku terbaru berjudul 'Konstitusi Butuh Pintu Darurat: Urgensi Memulihkan Wewenang Subjektif Superlatif MPR RI'. Peluncuran buku karya Bamsoet ke-32 ini akan dilaksanakan di Parle Senayan Cafe & Rest Senayan Park Jakarta, 17 Januari 2024.
"Buku ini mengulas tentang UUD NRI 1945 pasca reformasi yang tidak memiliki pintu darurat jika terjadi dispute atau kebuntuan konstitusi dan kebuntuan politik. Sampai saat ini kita belum memiliki ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan hasil pemilu tidak tepat waktu. Yakni, sebelum 1 Oktober untuk Pileg (DPR dan DPD), dan 20 Oktober untuk Pilpres," ujar Bamsoet di Jakarta, Senin, 15 Januari 2024.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, di masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan atau regeling untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi. Sehingga, jika terjadi keadaan yang membuat kesinambungan kepemimpinan bangsa dan negara terhenti, baik karena pelaksanaan Pemilu yang tidak selesai maupun adanya bencana alam, pandemi, pemberontakan dan kerusuhan atau krisis keuangan, maka keadaan tersebut dapat diatasi oleh presiden dan wakil presiden dengan menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Sebagaimana diatur dalam pasal 12 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun bagaimana jika sekiranya terjadi situasi di mana presiden dan wakil presiden, berikut triumvirat, yakni menteri dalam negeri, menteri luar negeri dan menteri pertahanan beserta jajaran yang lain lumpuh, atau berhalangan tetap secara serentak? Dengan demikian, situasi keadaan bahaya itu sama sekali tidak dapat diatasi oleh organ-organ konstitusional yang ada.
"Atau bagaimana jika keadaan darurat negara menyebabkan pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselesaikan tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada presiden dan atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu. Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban atau kewenangan hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut?," tanya Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN) ini menegaskan, idealnya UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau "constitutional deadlock”. Jika situasi seperti itu benar-benar terjadi, maka prinsip kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan keadaan bahaya tersebut.
"Sebagai representasi dari prinsip kedaulatan rakyat, maka seharusnya MPR kembali memiliki kewenangan subyektif superlatif. Sehingga dengan kewenangan tersebut dapat mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat regeling guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar," pungkas Bamsoet. (*)