TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum atau KPU dinilai belum sepenuhnya menjalankan prinsip keterbukaan dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum 2024. Pemilu demokratis sudah semestinya menerapkan prinsip keterbukaan.
"Karena itu, keterlibatan publik dalam memantau prosesnya harus dibuka lebar. Namun nampaknya kali ini KPU selaku penyelenggara pemilu mulai melupakan ruh keterbukaan tersebut," kata Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif dalam keterangan tertulis, Senin, 15 Januari 2024.
Prinsip keterbukaan yang mandek itu, kata Syarif, terlihat dalam dalam uji publik Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (RPKPU) tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum, RPKPU Penetapan Pasangan Calon Terpilih, dan RPKPU Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024. Uji publik itu berlangsung 11 Januari 2024.
Pertama, dalam RPKPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum, peran saksi dari nonpartai tak diakui secara tegas kedudukannya dalam proses rekapitulasi berjenjang dari kecamatan, kabupaten-kota, hingga provinsi. "Sebabnya, mereka tak diberikan otoritas yang sah," ujar dia.
Menurut Syarif, hal tersebut sama dengan mengurangi peran check and balances dari elemen masyarakat sipil dalam proses rekapitulasi karena hanya saksi dari partai yang diakui. “Semestinya saksi dari nonpartai diberikan otoritas yang sama seperti saksi dari partai. Sehingga mekanisme check and balances bisa berjalan optimal,” ucap dia.
Selain itu, KPU menggunakan formulir C1 yang diunggah ke situs Sistem Informasi Rekapitulasi Suara atau Sirekap sebagai pembanding proses rekapitulasi manual berjenjang. Namun KPU belum menjelaskan mekanisme menjamin formulir C1 yang belum terunggah ke Sirekap karena ketiadaan internet tidak disalahgunakan.
Dia mengatakan, hal itu berpotensi menjadi celah terjadinya kecurangan. Ditambah pula, RPKPU ini belum menyertakan hak publik secara spesifik untuk mengakses Sirekap guna memantau formulir C1 yang telah diunggah. “Ini menjadi penting untuk diperbaiki karena keterlibatan publik dalam proses rekapitulasi suara sangat penting untuk meminimalisasi kecurangan,” ucap Syarif.
Kedua, dalam RPKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, tak diatur sanksi bagi pasangan capres-cawapres yang tak menyertakan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Namun di sisi lain, partai politik yang tidak menyerahkan LPPDK dikenakan sanksi dengan tak dihitung perolehan suara mereka di pemilu legislatif.
Akibatnya, suara calon anggota legislatif dari partai tersebut dianggap hangus dan partai tersebut tak mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPRD Provinsi serta Kabupaten-Kota. “Pertanyannya, mengapa kandidat calon presiden dan wakil presiden tidak dikenakan sanksi bila tak menyerahkan LPPDK. Padahal keterbukaan dana kampanye penting sebagai filter awal menghindari terjadinya politik uang,” tutur Syarif.
Ketiga, menurut Syarif, di RPKPU tentang Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024, KPU diperbolehkan mengubah PKPU hingga 18 November 2024. Padahal hari pemungutan suara dilangsungkan pada 27 November, yakni hanya berjeda 9 hari.
Syarif menilai, hal itu dapat mengakibatkan ketidakpastian bagi partai politik, kandidat kepala daerah, dan pemilih. Selain itu, ketiga rancangan PKPU ini disusun dan diujikan ke publik secara terburu-buru.
Dia menjelaskan, KPU baru membagikan dokumen rancangan PKPU setebal 80 halaman, dua hari sebelum dibahas bersama dengan partai dan elemen masyarakat sipil. Yang lebih mengkhawatirkan, ketiga rancangan PKPU ini disusun setelah melewati batas waktu pembuatan regulasi Pemilu 2024.
Sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024. Beleid tersebut menetapkan waktu terakhir pembuatan PKPU adalah Kamis, 14 Desember 2023. Karena itu, rancangan peraturan dan konsultasi ketiga PKPU ini bisa dinyatakan tidak sah dan bermasalah secara hukum.
“Untuk itu, sebaiknya KPU tak melanjutkan penyusunan ketiga rancangan PKPU tersebut lantaran berpotensi melanggar ketentuan hukum yang telah mereka tetapkan,” ucap Syarif.
Pilihan Editor: Bawaslu dan Kejaksaan Tinggi Sumut Telusuri Video Dugaan Pejabat Batubara Dukung Prabowo-Gibran