TEMPO.CO, Jakarta - Isu pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali mencuat. Sejumlah tokoh yang menamakan Petisi 100 mendatangi Menkopolhukam Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, pada Selasa, 9 Januari 2024 lalu. Salah satu agendanya, mereka meminta Mahfud memakzulkan Jokowi.
“Ada juga mereka minta pemakzulan Pak Jokowi, minta pemilu tanpa Pak Jokowi,” kata Mahfud MD. Lantas apa syarat pemakzulan atau impeachment menurut perundang-undangan Indonesia?
Sebelumnya, menurut Mahfud MD, ada 22 orang yang mendatangi dirinya tersebut. Mereka di antaranya yaitu Faizal Assegaf, Marwan Batubara, dan Letnan Jenderal TNI Marsekal Purn Suharto. Selain ihwal pemakzulan, kata Mahfud, kedatangan mereka juga untuk melaporkan dugaan kecurangan Pemilu 2024.
“Mereka menyampaikan, tidak percaya, pemilu ini berjalan curang. Oleh sebab itu nampaknya sudah berjalan kecurangan-kecurangan. Sehingga mereka minta ke Menko Polhukam untuk melakukan tindakan,” katanya.
Istana pun memberikan tanggapan. “Dalam negara demokrasi, menyampaikan pendapat, kritik atau bahkan punya mimpi-mimpi politik adalah sah-sah saja. Apalagi saat ini kita tengah memasuki tahun politik, pasti ada saja pihak-pihak yang mengambil kesempatan gunakan narasi pemakzulan presiden untuk kepentingan politik elektoral,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana saat dihubungi Tempo pada Jumat, 12 Januari 2024.
Syarat pemakzulan atau impeachment menurut perundang-undangan Indonesia
Menanggapi permintaan pemakzulan presiden agar Pemilu 2024 dapat dilakukan tanpa Jokowi, Mahfud mengaku hal itu bukan kewenangannya. Pihaknya mempersilakan jika ada yang ingin memakzulkan Jokowi. Namun, kata dia, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk pemakzulan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 atau UUD 1945.
“Tetapi berdasarkan UUD untuk memakzulkan presiden itu ya syaratnya lima. Satu, presiden terlibat korupsi, terlibat penyuapan, melakukan penganiayaan berat, atau kejahatan berat. Lalu yang keempat melanggar ideologi negara. Nah yang kelima, melanggar kepantasan, melanggar etika,” kata Mantan Ketua Mahkamah atau MK ini di Surabaya, Rabu, 10 Januari 2024.
Regulasi yang dimaksud Mahfud terdapat dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Beleid ini menjelaskan bahwa presiden maupun wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Syarat seorang presiden dapat dimakzulkan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, serta perbuatan tercela.
Eks Wakil Ketua MK M Laica Marzuki dalam Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945 di Jurnal Konstitusi mengungkapkan alasan-alasan pemakzulan harus berkonotasi hukum (rechtmatigheid) dan bukan berpaut dengan kebijakan (doelmatigheid). Namun, jika kebijakan merupakan modus operandi kejahatan, maka dapat dikategorikan sebagai rechtmatigheid.
“Demikian pula halnya dengan perbuatan tercela. Perbuatan tercela yang dimaksud pasal konstitusi itu harus dipahami pula dalam makna perbuatan tercela menurut hukum, artinya perbuatan tercela tersebut berkaitan dengan aturan-aturan hukum tertulis,” tulis Laica Marzuki.
Presiden juga dapat dimakzulkan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Dinukil dari studi Pemakzulan Terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden Ditinjau dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, alasan pemakzulan ini didasarkan pada dua kategori:
Pertama, alasan pemakzulan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden sebagai mana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, yaitu: warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, dan mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua, alasan pemakzulan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Salah satunya ihwal syarat mampu secara jasmani dan rohani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Perdebatan sering muncul terkait dengan syarat tersebut. Hal ini karena tidak terdapat ukuran pasti mengenai kapan seseorang dianggap tidak mampu secara jasmani dan rohani.
Selanjutnya: Bagaimana proses pemakzulan?