TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyampaikan perlunya evaluasi dalam proses persidangan pegiat HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti di Pengadilan Negeri Jakarta Timur hingga vonis bebas.
“Persidangan yang sampai dengan 32 kali ini tetap perlu menjadi catatan untuk evaluasi. Persidangan ini berlangsung lama dan menguras energi masing-masing pihak. Hal ini pada akhirnya tetap berpengaruh pada iklim kebebasan berekspresi,” ujarnya, Senin, 8 Januari 2024.
Menurut Erasmus, dalam konteks Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), putusan bebas atau pun bersalah untuk pihak yang diserang SLAPP, menjadi hal penting lainnya yang harus diperhatikan. “Dalam sistem peradilan pidana khususnya yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi, upaya aktivisme apalagi kritik berbasis penelitian tak harus direspons dengan proses pidana,” ujarnya.
ICJR juga mengingatkan proses kriminalisasi terhadap Haris dan Fatia tak lepas dari kebijakan hukum pidana, khususnya dalam UU ITE yang tidak dirumuskan dan diimplementasikan sesuai dengan prinsip negara demokratis. “Sampai akhir 2023, masih terdapat korban-korban kriminalisasi UU ITE seperti Haris - Fatia,” ujarnya.
Di antara mereka adalah Bintatar Sinaga, Septia Dwi Pertiwi, dan Daniel Frits M. Tankilisan. Bintatar Sianga ditetapkan sebagai tersangka kasus penghinaan sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016 dan Pasal 310, 311, 315 KUHP karena kritikannya terhadap mantan pejabat suatu kampus.
Kasus kriminalisasi aktivis dengan UU ITE lainnya juga menimpa Daniel Frits. Aktivis lingkungan Pulau Karimunjawa ini ditetapkan sebagai tersangka dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2016 tentang ujaran kebencian karena mengkritik tambak udang yang merusak lingkungan. Pada 7 Desember 2023, Daniel yang memenuhi kewajiban lapor ke Polres Jepara malah ditahan selama sehari.
“Ke depannya, pertimbangan majelis hakim dalam putusan Haris - Fatia perlu menjadi preseden untuk penyelesaian kasus-kasus lainnya serta penerapan pasal penghinaan dalam KUHP baru, revisi kedua UU ITE, maupun dalam kerja-kerja aparat penegak hukum, bahwa kritik terhadap penguasa dilindungi dalam negara demokratis,” kata Erasmus.
Haris Azhar sebelumnya dituntut oleh jaksa penuntut umum 4 tahun penjara, sementara Fatia 3 tahun 6 bulan. Haris adalah pendiri Yayasan Lokataru, sedangkan Fatia koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Keduanya dilaporkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan atas konten YouTube Haris Azhar berjudul "ADA LORD LUHUT DIBALIK RELASI EKONOMI-OPS MILITER INTAN JAYA!!JENDERAL BIN JUGA ADA”. Konten berasal dari diskusi siniar oleh Haris-Fatia membahas laporan berjudul ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya’.
Pilihan Editor: Komnas HAM Sudah Ambil Keterangan 7 Relawan Ganjar-Mahfud Korban Penganiayaan Anggota TNI