ICW juga menganggap keliru ihwal penilaian hakim MA soal pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justice. Pemaknaan model restorative justice menurut ICW seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan syarat pengetatan. Secara konsep, pemberian remisi merupakan hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan.
Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect atau efek pencegahan bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi. Dengan kata lain, pernyataan MA soal pengetatan pemberian syarat remisi tak sesuai dengan model restorative justice sama artinya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya.
Menurut ICW, MA juga keliru dalam melihat persoalan overcrowded di Lapas. Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen atau 1.906 orang. Angka itu berbanding jauh dengan total warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Berdasarkan data ini, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal.
“Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman,” tulis ICW.
ICW mencatat, dalam kurun 2015 hingga 201o, setidaknya Kementerian Hukum dan HAM telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Yakni pada 2015, 2016, 2017, dan 2019 melalui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. Tak hanya itu, Menkumham juga pernah mengeluarkan SE MenkumHAM M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 yang memberikan kemudahan bagi napi korupsi sebelum berlakunya PP 99/2012.
Saat upaya revisi PP 99/2012 menggema pada 2016, ICW sudah memprediksi permasalahan yang akan muncul jika upaya tersebut tetap dilanjutkan. Pertama, melemahkan upaya penindakan yang sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kedua, menimbulkan celah potensi korupsi yang baru. Ketiga, pemberian remisi dipastikan akan mengurangi efek jera terhadap pelaku kasus korupsi.
Dari penelitian ICW pada semester I 2016 (Januari – Juni), terdapat 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Dari 384 terdakwa, sebanyak 275 terdakwa atau 71,6 persen divonis di bawah empat tahun. Sedangkan rata-rata vonis untuk koruptor adalah 2 tahun 1 bulan penjara. Dengan adanya remisi dipastikan tidak akan memberikan efek jera.
“Karena narapidana kasus korupsi akan lebih cepat bebas dari waktu yang telah diputuskan oleh hakim di pengadilan,” tulis ICW.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | AYU CIPTA I SDA
Pilihan Editor: Koruptor Bansos Covid-19 Jukliari Batubara dapat Remisi 1 Bulan, Ini Kasus Korupsinya