TEMPO.CO, Jakarta - Calon Presiden atau capres Ganjar Pranowo ingin mengembalikan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi alias UU KKR yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam. Wacana ini, kata Ganjar, untuk membereskan persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM.
“Mari kita ciptakan kembali Undang-Undang KKR. Mari kita hadirkan kembali Undang-Undang KKR agar seluruh persoalan-persoalan pelanggaran HAM itu bisa kita bedakan,” kata Ganjar saat debat capres 2024 di Gedung KPU, Selasa malam, 12 Desember 2023.
Lantas apa itu Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau UU KKR ini?
Sebelumnya, saat menjawab pertanyaan dari capres Anies Baswedan tentang HAM, Ganjar mengatakan persoalan pelanggaran HAM harus dituntaskan. Dengan begitu, menurutnya bangsa Indonesia akan maju dan tidak berpikir mundur. Oleh sebab itu, kasus pelanggaran HAM harus dituntaskan.
“Dengan cara itu sehingga bangsa ini akan maju dan tidak lagi kemudian berpikir mundur karena persoalan-persoalan seperti yang tidak pernah dituntaskan, kita harus tuntaskan itu,” kata Ganjar.
Apa itu UU KKR?
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau UU KKR merupakan regulasi tentang pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Beleid ini tercantum dalam UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR. Ini adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.
Dikutip dari Koran Tempo, edisi Kamis 18 Agustus 2022, UU KKR dibuat oleh Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri di penghujung masa jabatannya pada 2004. Tugas komisi itu adalah mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM pada 2000. Ada tiga tujuan utama KKR kala itu, yakni:
1. Mengungkap fakta peristiwa;
2. Mendukung dan memfasilitasi korban dalam proses pencarian fakta; dan
3. Merekomendasikan kebijakan kepada negara untuk mencegah pelanggaran HAM berat terulang.
“KKR juga dapat merekomendasikan proses yudisial lewat pengadilan HAM terhadap pelaku pelanggaran HAM berat,” tulis Koran Tempo.
Menurut Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) saat itu, Rivanlee Anandar, secara prinsip UU KKR menjustifikasi praktik impunitas. Sebab, pelaku kejahatan berpeluang mendapat amnesti atau penghapusan hukuman atas kejahatannya ketika sudah meminta maaf. Pengadilan HAM juga tak bisa menangani kasus HAM berat yang sudah diselesaikan lewat KKR.
“Hal ini melanggar prinsip komplementer antara KKR, sebagai mekanisme non-yudisial, dengan pengadilan HAM,” kata Rivan, pada Rabu 17 Agustus 2022 lalu.
Kendati begitu, kata dia, hadirnya KKR karena adanya ketidakyakinan akan independensi sistem peradilan di Indonesia. Karena lembaga pengadilan merupakan warisan rezim masa lalu, integritas dan kapasitas pengadilan diragukan dalam mengadili para pelaku kejahatan HAM. Esensi KKR, menurut Rivan adalah mengungkap kebenaran masa lalu.
“Yang paling esensial dari KKR adalah upaya pengungkapan kebenaran masa lalu, agar di masa depan tidak terulang kembali. KKR dalam konteks ini diharapkan mampu menentukan garis demarkasi antara masa lalu dan masa depan,” jelasnya.
Namun, UU KKR pada 2004 itu hanya berlaku selama dua tahun. Mahkamah Konstitusi alias MK lantas membatalkan UU KKR tersebut pada 2006. MK menilai UU KKR bertentangan dengan UUD 1945. Uji materi UU ini dilayangkan pada 28 Maret 2006 oleh delapan orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Termasuk di antaranya KontraS.
Selanjutnya: Bagaimana Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM era Jokowi?