TEMPO.CO, Jakarta - Kejawen tak hanya membentuk wajah Kekristenan di Jawa, melainkan juga memberi makna yang sesuai dengan konteks budaya pada ajaran-ajaran Kristen saat itu.. Sejumlah tokoh di abad ke-19 dikenal sebagai penginjil-penginjil besar pribumi, antara lain Paulus Tosari, Kiai Tunggul Wulung, dan Kiai Sadrach.
Paulus Tosari
Paulus Tosari merupakan seorang penginjil Jawa di Surabaya, memainkan peran penting dalam pembentukan Gereja Kristen Jawi Wetan yang tetap berdiri hingga saat ini. Tosari terkenal di luar wilayahnya karena mengajarkan ajaran agama melalui bentuk puisi atau tembang Jawa.
Awalnya, Tosari, yang sebelumnya dikenal sebagai Kasan Jariyo, mendengarkan ajaran Coenraad Laurens Coolen tentang pengampunan dosa. Hal ini mendorongnya pergi ke Ngoro pada 1840 dan menjadi murid Coolen.
Nama Tosari kemudian diubah menjadi Paulus setelah dibaptis oleh Pendeta Johannes Emde di Surabaya pada 12 September 1844. Namun, Emde menganut pendekatan yang berbeda dengan Coolen. Dia tidak hanya membaptis, tetapi juga menuntut agar orang Jawa menolak banyak aspek budaya Jawa.
Meskipun dibaptis oleh Emde, Tosari tetap mengajarkan ajaran Kristen ala Coolen sambil mempertahankan praktik-praktik sakramen ala Emde. Ia menggunakan seni wayang kulit sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Kristen dan menggubah puisi panjang dalam bahasa Jawa, seperti "Rasa Sedjati".
Paulus Tosari meninggalkan warisan berupa Gereja Mojowarno yang didirikan pada 8 Maret 1881. Pada 11 Desember 1931, Gereja ini menjadi bagian dari Majelis Agung untuk mempersatukan 29 majelis jemaat di Jawa Timur dan dikenal dengan nama Gereja Kristen Jawi Wetan.
Kiai Tunggul Wulung
Kiai Tunggul Wulung, seorang tokoh penting dalam penyebaran Kekristenan di Jawa, tidak terlalu tercatat dalam sejarah resmi Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ). Tunggul Wulung, yang memiliki hasrat kuat akan kawruh atau ngilmu, mempelajari Kristen setelah menerima wangsit di Gunung Kelud. Dia mengikuti petunjuk untuk bertemu dengan seorang misionaris bernama Jellesma di Mojowarno, yang kemudian membaptisnya dengan nama Ibrahim.
Ibrahim Tunggul Wulung membentuk komunitas alternatif di Jepara, yang mencampurkan unsur mistisisme Jawa dalam ajaran Kristen. Metode penyebaran ajaran Kristen dilakukan dengan pertukaran kawruh atau debat ngelmu, mirip dengan penyebaran Islam Jawa.
Kiai Sadrach
Kiai Sadrach adalah seorang pemimpin Kristen dari Purworejo, merupakan contoh lain kepemimpinan Kristen yang erat dengan budaya Jawa. Meskipun dihormati dalam gereja terbesar di Jawa pada masanya, Sadrach juga terjerat dengan berbagai kontroversi, termasuk dituduh melakukan sinkretisme antara Kristen dan Kejawen.
Gereja yang didirikannya akhirnya berjalan sendiri setelah pemisahan diri dari para misionaris Belanda pada 1891. Meskipun terisolasi, Sadrach tetap menjadi pendeta selama 30 tahun tanpa keterlibatan pihak misi Belanda. Namun, perubahan strategi misionaris Belanda mempengaruhi kemunduran jemaatnya.
Pada akhirnya, posisi Kiai Sadrach kembali pada tradisi kiai atau guru ngilmu Jawa setelah terasing dari gereja yang dibangunnya.
INDONESIA.GO.ID
Pilihan editor: Profil Kiai Sadrach: Pemimpin Gereja di Tanah Jawa yang Wafat 99 Tahun Lalu