TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan sedikitnya 56 bekas narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu 2024. Meski terkesan janggal, nyatanya eks koruptor yang telah menjalani masa pidana memang boleh mendaftar sebagai caleg.
Aturan bekas napi korupsi boleh mendaftar sebagai caleg tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU Nomor 31 tahun 2018 tentang Perubahan Atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota. Beleid ini berlaku sejak pemilu 2019 lalu.
Lampu hijau mantan napi korupsi ikut pemilihan legislatif atau Pileg terdapat pada Pasal 45A ayat (2). Dalam ayat (1), pasal tersebut menjelaskan bahwa mantan napi kasus korupsi tidak memenuhi syarat caleg berdasarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Namun, dalam ayat (2), secara tersirat disebutkan bahwa eks napi koruptor diperbolehkan mendaftar dengan sejumlah syarat.
Adapun syarat bagi mantan napi korupsi antara lain wajib melampirkan surat keterangan dari kepala lembaga pemasyarakatan atau lapas. Surat itu menerangkan bahwa napi yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan dan menyertakan salinan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Syarat lain eks napi korupsi dapat mendaftar Pileg harus melampirkan surat dari pemimpin redaksi media. Isinya harus menerangkan bahwa bakal calon telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana. Pernyataan atau pengumuman yang ditayangkan di media massa tersebut harus disertai dengan bukti.
Regulasi tersebut diperkuat dengan PKPU Nomor 18 Tahun 2019 yang terbit pada 6 Desember 2019. KPU hanya melarang mantan napi kasus narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Dalam Pasal 3A ayat (3) dan (4), dengan jelas KPU tidak melarang eks napi koruptor maju di Pilkada. Melainkan hanya menganjurkan agar tak diutamakan untuk dicalonkan.
Tak hanya mantan napi korupsi, mantan napi kasus lain juga diperbolehkan berpartisipasi sebagai Caleg pada Pemilu. Dalam Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan bahwa seorang eks napi boleh mendaftar sebagai Caleg. Syaratnya, eks napi tersebut tidak pernah dipidana penjara 5 tahun atau lebih.
Syarat perhitungan pidana tambahan pencabutan hak politik bagi proses pencalonan anggota legislatif mantan terpidana bahkan ditambah dalam Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang menyebut aturan pencabutan hak politik eks napi tak berlaku jika putusan pengadilan menentukan lain. Awal Oktober lalu, Mahkamah Agung atau MA memerintahkan KPU mencabut pasal tersebut.
Uji materi kedua pasal ini diajukan ICW, Perludem, Saut Situmorang, dan Abraham Samad. Dalam putusannya, majelis hakim bersepakat bahwa kedua pasal yang muatannya menambah syarat perhitungan pidana tambahan pencabutan hak politik bagi proses pencalonan anggota legislatif mantan terpidana merupakan pelanggaran hukum. Alasannya, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan putusan MK.
“Hal tersebut menunjukkan kurangnya komitmen KPU sebagai penyelenggara pemilu turut serta menjamin pemilu legislatif dalam mendapatkan para wakil rakyat yang berintegritas tinggi,” kata MA dalam putusannya.
Menurut MA, dua pasal yang tercantum dalam PKPU tersebut menunjukkan KPU memberikan kelonggaran syarat pencalonan bagi mantan terpidana (yang diancam pidana 5 tahun atau lebih), padahal sudah diatur dalam Pasal 240 ayat 1 huruf g dan Pasal 182 huruf g UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Dari uji materi terhadap peraturan itu, menunjukkan kurangnya komitmen dan semangat pemberantasan korupsi.
“Semangat penjatuhan hukuman pada putusan tindak pidana korupsi telah diperberat dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik,” kata isi putusan tersebut. “Karenanya obyek hak uji materi harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku umum.”
IHSAN RELIUBUN
Pilihan Editor: Inilah Daftar Caleg Bekas Narapidana Korupsi di Pemilu 2024 Temuan ICW