INFO NASIONAL – Indonesia dan Filipina berbagi kisah sukses menjalankan program pendidikan non-formal di negara masing-masing. Kesempatan ini terlaksana dalam acara ASEAN Regional Dialogue on Young People's Skills, Employability and Transition to Descent Work “Breaking Barriers, Building Futures” di Jakarta, 17-18 Oktober 2023 kemarin.
Program yang dijalankan dua negara ini diharapkan menjadi inspirasi untuk negara-negara ASEAN lainnya yang sedang berjuang mengatasi disrupsi pendidikan. Sejak pandemi Covid-19 melanda pada 2020, jumlah anak yang tidak bersekolah di dunia diperkirakan meningkat hingga 500 ribu, sebagaimana dicatat oleh Institut Statistik UNESCO (UIS) dan Pemantau Kewirausahaan Global (GEM).
Indonesia dengan Program Kartu Prakerja serta Filipina dengan Alternative Learning System (ALS) tampil dalam sesi dialog di hari pertama, Selasa, 17 Oktober di bawah tajuk “Youth and Adolescent Learning and Skills Development Through non-Formal Education In a Lifelong Learning Perspective."
Asisten Sekretaris Biro Pendidikan Alternatif Departemen Pendidikan Filipina, Marilette Almayda bercerita ALS dimulai sejak 2015, jauh sebelum pandemi Covid-19. ALS dihadirkan sebagai pengganti pendidikan konvensional, contohnya untuk komunitas masyarakat yang kesulitan mendapat pendidikan formal karena di daerah terpencil atau terkendala perekonomian.
ALS mengambil pendekatan pendidikan yang lebih informal, mendorong siswa belajar mandiri dengan jadwal pembelajaran yang fleksibel. Pengajaran biasanya dilakukan di pusat komunitas, perpustakaan, atau rumah. “Kami tidak hanya mengedukasi anak muda yang tidak sekolah, tetapi juga masyarakat marginal lainnya dari berbagai usia,” kata Marilette Almayda.
Ihwal tema yang diusung Dialog Regional ASEAN yakni “Breaking Barriers, Building Futures” atau menerobos batasan, menurut Marilette jika dikaitkan dengan kondisi di Filipina, yaitu mengubah persepsi masyarakat bahwa lulusan ALS hanya golongan kedua dan tidak sepadan dengan lulusan pendidikan formal. Hal ini coba dibuktikan dengan menampilkan lulusan ALS yang berhasil meneruskan pendidikan ke jenjang universitas, meraih beasiswa, ataupun diterima bekerja di pemerintahan.
Contoh lulusan ALS yang sukses terlihat pada Glaiza Bueno dari Kota Tagbilaran, Filipina, narasumber kedua yang tampil di pertemuan ini. Di usia baru 23 tahun, Glaiza memimpin Pag-asa Youth Association of the Philippines (PYAP) Tagbilaran, sebuah asosiasi yang membantu para pemuda tidak bersekolah.
Glaiza mengaku sempat frustasi karena putus sekolah. “Namun perspektif saya berubah setelah melanjutkan pendidikan di ALS. Di sini ada berbagai workshop dengan guru-guru yang sangat membantu dan membuat saya bersemangat,” ucapnya.
Glaiza lulus Sekolah Menengah Pertama ALS pada 2022. Ia juga menyelesaikan Program USAID Opportunity 2.0, Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas ALS sambil berorganisasi di PYAP.
Ia berpesan kepada semua anak muda di seluruh ASEAN agar memanfaatkan waktu dan kesempatan sebaik mungkin, sehingga dapat membangun masa depan yang lebih baik. “Beradalah di sekeliling orang yang memberi semangat. Selalu ingat bahwa tidak ada kesuksesan yang diraih dalam semalam, tetapi teruslah bermimpi dan mencoba meraihnya, karena pasti akan ada jalan,” kata dia.
Anak muda lainnya yang dihadirkan dalam pertemuan ini yaitu Lee Ayu Chuepa pendiri Akha Ama Coffee di Desa Akha Thailand. Orang tuanya pindah ke desa ini sebagai pengungsi dan membesarkan Ayu di lingkungan petani kopi.
Setelah Ayu lulus kuliah di jurusan Bahasa Inggris, ia mendirikan Akha Ama Coffee. Bukan sekadar bisnis, Akha Ama Coffee memberdayakan para petani kopi di desanya. selain meningkatkan kesejahteraan para petani, cita rasa kopi daerah tersebut menjadi istimewa dan mendunia. “Kami memulai dari usaha kecil,” ucap Ayu. “Tapi saya memaksakan diri ini agar tidak mudah menyerah.”
Semangat inilah yang ingin ditularkannya kepada seluruh anak muda ASEAN. “Jangan pernah berhenti belajar, apalagi saat kita masih muda. Buka mata selebarnya, belajar dengan berbagai cara. Untuk maju bukan hanya dari pendidikan formal,” kata dia.
Membuka kesempatan seluasnya kepada generasi muda juga menjadi semangat yang diusung Prakerja. Direktur Eksekutif PMO Prakerja, Denni Puspa Purbasari menjabarkan Pemerintah Indonesia membuat Program Kartu Prakerja untuk menjawab kebutuhan sumber daya manusia yang mumpuni.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, sebanyak 90 persen angkatan kerja tidak pernah mengikuti pelatihan untuk meningkatkan skill. Pandemi juga mengakibatkan learning loss yang semakin mengancam kualitas sdm angkatan muda Indonesia.
Selain menyediakan 1.000 pelatihan dan melibatkan lebih dari 200 penyelenggara pelatihan, setiap peserta Program Kartu Prakerja juga mendapat insentif berupa uang tunai setelah menyelesaikan program. “Peserta pelatihan membutuhkan uang untuk membeli kuota internet agar dapat mengikuti pelatihan secara online,” ujar Denii.
Prakerja bukan sekadar program yang membuka akses masyarakat mendapatkan pendidikan non-formal berkualitas. Mengusung semangat skilling, reskilling, dan upskilling, dalam platform Prakerja juga terdapat dasbor lowongan kerja. “Ada sekitar 31.000 lowongan kerja yang tersedia saat ini, dan ini terus di-update,” ucapnya.
Serupa dengan ALS milik Filipina, Prakerja juga melibatkan multi-pihak untuk terlibat sebagai mitra. Prakerja, ujar Denni, telah menjadi sebuah ekosistem yang mendukung pemajuan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning) di Indonesia. “Setiap pelatihan di Prakerja merespons kebutuhan pasar industri yang terus berkembang, karena itu kami selalu siap untuk memajukan ekosistem ini,” pungkas Denni. (*)