Pada 25 Desember 2006, setahun sejak putusan di pengadilan pertama, Pollycarpus bebas dari masa tahanan setelah mendapat remisi. Kejaksaan Agung kemudian mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) kasus Munir ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 27 Juli 2007. Pada 25 Januari 2008. Mahkamah Agung menyetujui permohonan PK Kejaksaan Agung. Polly lalu dihukum 20 tahun. Tetapi Polly mengajukan PK atas putusan tersebut.
Pada Desember 2008, dia mendapatkan remisi 1 bulan pada Hari Natal. Polly juga mendapat remisi hari kemerdekaan 7 bulan pada 17 Agustus 2010. Lalu pada 30 Mei 2011, Pollycarpus mengajukan peninjauan kembali (PK) kali kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 7 Juni 2011, Sidang PK Pollycarpus digelar. Dia panen remisi lagi pada 17 Agustus tahun itu, 9 bulan 5 hari. Saat Natal 2011, remisi juga didapatnya lagi 1,5 bulan.
Mendapatkan sejumlah pemotongan hukuman, Polly bebas murni pada Agustus 2018 setelah menjalani hukuman 8 tahun bui. Saat itu banyak yang memprotes keputusan hukum pembebasan Polly itu. Tapi dia tidak ambil pusing. Polly mengklaim dirinya sudah menjalani seluruh prosedur hukum. Dia meminta kepada pihak yang tak terima untuk mengkonfirmasi ke pihak berwenang.
“Mengenai ada yang protes atau tidak, kita sudah melalui semua jalur hukum. Silakan saja lihat semua prosedur hukum yang kita jalani, jadi silakan tanyakan pada pihak yang berwajib,” kata dia di Lapas Sukamiskin, Bandung, Sabtu, 29 November 2014.
Pollycarpus kala itu bersikukuh dirinya tidak bersalah dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib yang mengantarnya ke penjara. “Saya merasa tidak bersalah,” kata dia, sebelum menutup pintu taksi yang membawanya meninggalkan Lapas Sukamiskin saat itu.
Selain Polly, kepolisian juga menetapkan Mayor Jenderal (Purn.) Muchdi Purwoprandjono, Direktur Utama PT Garuda Indra Setiawan, serta Sekretaris Chief Pilot Airbus 330 Rohainil Aini, sebagai tersangka. Dua yang disebut terakhir terbukti terlibat pembunuhan berencana terhadap Munir dengan membantu Pollycarpus. Kedua orang itu masing-masing dihukum 1 tahun dan 1,5 tahun penjara.
Sedangkan Muchdi, Mantan Komandan Kopassus yang juga bekas Deputi V BIN itu dituding sebagai otak pembunuhan Munir. Dalam sidang Muchdi Pr, Kolonel Budi Santoso memberikan pengakuan yang memberatkan terdakwa. Saat kasus pembunuhan Munir terkuak, Budi dipindahkan dari Direktur Perencanaan BIN ke Kedutaan Indonesia di Pakistan. Ia jadi saksi kunci pembunuhan Munir karena mengetahui rencana itu sejak awal.
Menurut Budi, mengutip Pollycarpus yang menjadi eksekutor Munir, perintah pembunuhan datang dari Muchdi. Belakangan, Budi mencabut kesaksian itu. Ternyata, surat pencabutan kesaksian yang ditunjukkan pengacara Muchdi Purwoprandjono di pengadilan itu palsu. Majalah Tempo edisi 8 Desember 2014 menulis Budi tak pernah membuat surat dan mencabut keterangan yang menyebut Muchdi memerintahkan pembunuhan terhadap Munir pada 7 September 2004.
“Opini dan surat itu sebagai upaya memaksa saya pulang ke Indonesia,” kata Budi saat bersaksi di depan penyidik yang direkam video, akhir September 2008, di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. “Saya akan dihabisi begitu pulang, sehingga kasus Munir akan ditimpakan kepada saya.”
Muchdi kemudian bebas karena kesaksian Budi telah “dicabut”. Jaksa ataupun hakim tak menyelidiki keabsahan surat tersebut dengan meminta Budi bersaksi langsung di Pengadilan. Meski berkas pemeriksaannya menjadi bahan tuntutan oleh jaksa, hakim tak mengakuinya untuk memvonis Muchdi.
Kepala Divisi Hukum Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, menyatakan proses hukum kasus Munir baru menyentuh aktor lapangan, belum aktor intelektual. Padahal, kata dia, ada empat level aktor dalam kasus tersebut: pelaku di saat dan tempat kejadian, pembantu di tempat kejadian, penyuruh, serta perancang. “Seharusnya, dari fakta yang tersedia, bisa memudahkan penelusuran lebih lanjut,” ujar dia.
Senada dengan Andi, Deputi Direktur Amnesty International, Wirya Adiwena, mengatakan kasus pembunuhan Munir sudah luntang-lantung lintas generasi. Tak kunjung selesainya perkara ini, ujar dia, menjadi cerminan buruk penegakan HAM di Indonesia.
“Jika kasus ini bisa diselesaikan dengan adil, ini menjadi pertanda baik bahwa negara ini mampu menyelesaikan pelanggaran HAM berat, melindungi negara, menjunjung tinggi HAM, serta menjamin tidak ada impunitas,” katanya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | M ROSSENO AJI | DRIYAN | KORAN TEMPO
Pilihan Editor: 7 Tahun Jokowi Usut Kasus Pembunuhan Munir Malah Dokumen TPF Hilang, Suciwati: Presiden Joko Widodo Pembohong