TEMPO.CO, Jakarta - International Non Governmental Organization Forum on Indonesian Development atau INFID menilai surat edaran yang dikirimkan oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU kepada parpol tak memadai untuk menjalankan Putusan MA.
"Saya kira surat itu masih kurang memadai dari sebuah bentuk ketataatan terhadap perintah pengadilan," ujar Direktur Eksekutif INFID, Iwan Misthohizzaman, melalui sambungan telepon kepada Tempo, Ahad, 8 Oktober 2023.
Perintah MA, kata dia, adalah mengubah Peraturan KPU Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023. Itu sebabnya, dia menilai KPU seharusnya mengeluarkan peraturan untuk merevisi peraturan lama, alih-alih menerbtkan surat edaran. "Karena perintahnya adalah mengubah peraturan," ujar dia.
Surat edaran, kata dia, masih kurang memadai sebagai sebuah bentuk ketaatan terhadap perintah pengadilan. Sebab, dia menilai surat edaran itu tak bisa dimaknai sebagai sebagai sebuah peraturan yang mengikat. "Satu keputusan yang bersifat peraturan akan tidak bagus kalau dia direvisi hanya dengan surat rekomendasi supaya menyesuaikan dengan Putusan MA," ujar dia.
Ihwal dalih KPU bahwa perubahan peraturan akan memakan waktu, dia mengatakan perintah pengadilan tetap harus dilaksanakan tanpa memandang lama waktu yang diperlukan. Sebuah peraturan, kata dia, akan berdampak kepada kewajiban parpol seperti surat edaran, tetapi memiliki kekuatan hukum lebih kuat. "Yang ribetnya kan ada di partai," ujar dia.
Sebelumnya, pada 2 Oktober 2023, KPU menggelar rapat konsultasi bersama lima pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara di Hotel Gran Melia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Rapat itu bertujuan membahas putusan MA Nomor 28 P/HUM/2023 tentang syarat masa jeda bekas terpidana korupsi dan Putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023 tentang 30 persen keterwakilan perempuan.
Lima pakar hukum itu, yakni Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono; Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Umbu Rauta; pakar hukum tata negara Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan; pakar hukum tata negara Universitas Negeri Surakarta, Agus Riewanto; pakar hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada, Oce Madril.
PKPU No. 10 dan PKPU No. 11 menjadi polemik karena dalam aturannya, KPU memmperbolehkan mantan narapidana menjadi caleg meskipun belum melewati batas jeda hukuman 5 tahun seperti tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, KPU juga dinilai melakukan pelanggaran terhadap ketentuan kuota caleg perempuan dalam UU Pemilu. Pasalnya, dalam tatacara perhitungannya, KPU menggunakan pembulatan ke bawah jika terdapat bilangan desimal di bawah 0,5.
Pilihan Editor: PSI Sebut Belum Ada Komunikasi yang Komplit Ihwal Pertemuan Kaesang dan Megawati