TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum belum merevisi putusan Mahkamah Agung Pasal 11 ayat 6 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Anggota DPR dan DPRD dan Pasal 18 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Soal ini muncul setelah putusan MA pada 29 September lalu untuk membatalkan pasal-pasal tersebut. Namun KPU belum melakukannya. "Untuk mengubah pasal tersebut proses tahapannya panjang," kata anggota KPU Idham Holik, kepada Tempo melalui pesan singkat, Kamis, 5 Oktober 2023.
Sebelumnya dua pasal itu diuji-materilkan karena dianggap mengabaikan masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif jika dalam vonis mereka memuat pidana tambahan pencabutan hak politik.
Idham menjelaskan, bukan sekadar proses tahapan pengubahan yang panjang, kata dia, ada logistik pemilu berbasis kandidasi (candidacy-based electoral logistics) yang harus dipenuhi dengan waktu yang sangat terbatas. "Tidak sekadar persoalan hal tersebut semata," ujar dia.
Menurut dia, KPU harus memastikan satu bulan sebelum hari pemungutan suara, surat suara Pemilu anggota DPR daerah pemilihan Jakarta II, surat suara pemilihan presiden, serta logistik lainnya sudah seharusnya sampai ke 128 Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) perwakilan Indonesia di negara asing.
"Sebab ada pemungutan suara lebih awal (early voting). Dalam hal ini pemberian suara lewat pos (postal voting)," ujar Idham.
Sebelumnya, pada 2 Oktober lalu, KPU menggelar rapat konsultasi bersama lima pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara di Hotel Gran Melia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Rapat itu bertujuan membahas putusan MA Nomor 28 P/HUM/2023 tentang syarat masa jeda bekas terpidana korupsi dan Putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023 tentang 30 persen keterwakilan perempuan.
Lima pakar hukum itu, yakni Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono; Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Umbu Rauta; pakar hukum tata negara Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan; pakar hukum tata negara Universitas Negeri Surakarta, Agus Riewanto; pakar hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada, Oce Madril.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Umbu Rauta, mengatakan tidak ada pernyataan sikap resmi dari KPU soal perubahan dua pasal di Peraturan KPU. Pertemuan itu bersifat penyampaian pendapat para pakar.
Menurut Umbu, putusan MA tegas menyatakan Pasal 11 ayat 6 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2013 dan Pasal 18 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Pemilu dan Putusan MK.
"Maknanya norma tersebut sejak diputus MA tidak lagi dijadikan dasar hukum bagi KPU. Konsekuensinya KPU melakukan perbaikan norma sesuai amar putusan MA," tutur Umbu, saat dihubungi pada Selasa, 3 Oktober 2023
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan KPU harus menjalankan putusan MA. Alasannya, memasukkan calon legislatif yang tidak memenuhi syarat peserta pemilu adalah pelanggaran serius terhadap integritas dan akuntabilitas pemilu.
"Hasil pemilu akan tidak berintegritas dan cacat hukum. Ini akan merugikan semua orang," kata Fadli kepada Tempo, Ahad, 1 Oktober 2023. Fadli bercerita, Indonesia memiliki pengalaman buruk di Boven Digoel, Papua Selatan.
Saat itu kontestasi pemilihan kepala daerah diikuti bekas terpidana korupsi yang belum menghabiskan masa jeda lima tahun. Hasilnya pemilihan itu dibatalkan. "MK perintah pilkada ulang," ujar dia. "Kalau KPU tidak diperbaiki, artinya KPU menghendaki hasil pemilu dibatalkan."
Setelah putusan MA keluar, KPU sempat mengatakan akan berkonsultasi ke Komisi II DPR. Kepada Tempo, Idham tak menjawab apakah konsultasi tersebut sudah dijalankan KPU. "Saat ini, kami mendapat informasi bahwa DPR sedang berada dalam masa reses," ucap Idham.
Pilihan editor: Syahrul Yasin Limpo Beberkan Soal Laporan Dugaan Pemerasan Oleh Pimpinan KPK