INFO NASIONAL - Di kalangan penutur bahasa Sunda, kata kongres diplesetkan menjadi ngawangkong teu beres-beres perbincangan yang tak pernah usai. Keratabasa tersebut menangkap persepsi awam tentang kongres. Pertemuan besar yang rutin dilaksanakan secara periodik tersebut memang membicarakan banyak hal yang seakan tiada habisnya dibahas pada setiap kongres. Demikian pula dengan Kongres Bahasa Indonesia yang tahun ini diselenggarakan untuk yang ke-12 kali.
Kongres Bahasa Indonesia yang pertama merupakan kongres yang diinisiasi oleh perseorangan, yaitu Raden Mas Soedirdjo Tjokrosisworo. Wartawan Soeara Oemoem tersebut menggagas kongres yang terlaksana di Solo pada 25—27 Juni 1938. Kongres ini mendapat perhatian dari berbagai media massa saat itu. De Indische Courant edisi 5 Juli 1938 memuat tulisan berjudul “Taal en Politiek”. Tulisan tersebut menyayangkan kuatnya aroma politik pada kongres tersebut. Tulisan tersebut mendukung ide pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa jurnalistik tetapi tetap harus bebas politik. Het Indische Volk edisi 15 Juli 1938 menulis hal yang senada. Di bawah judul “Een Indonesisch Taalcongres” koran organ ISDV tersebut berpendapat bahwa pemilihan kata “Bahasa Indonesia” dan fakta hanya ada satu linguis yang menjadi pemateri dalam kongres tersebut merupakan ciri jelas sifat politik dari sifat keilmuan pertemuan tersebut. Sebagai organ pergerakan, koran tersebut memahami bahwa cita-cita politik dan linguistik dapat hidup berdampingan, meskipun harus ada satu yang dominan dalam perjuangan tersebut.
Di tengah sentimen negatif dari pemerintah kolonial, Kongres Bahasa Indonesia yang pertama berhasil merumuskan sembilan putusan, antara lain: setuju mengambil kata-kata asing untuk ilmu pengetahuan, perlu penyusunan gramatika baru, perlu memperbaiki bahasa persuratkabaran, perlu pendirian Institut Bahasa Indonesia, dan perlu pendirian perguruan tinggi kesusastraan. Dua putusan terakhir telah terlaksana. Tiga putusan pertama merupakan isu yang selalu diangkat, dengan berbagai variasinya, dalam setiap kongres.
Kongres Bahasa Indonesia yang kedua diselenggarakan di Medan pada 28 Oktober—2 November 1954. Kongres ini juga monumental secara politis karena dibuka secara langsung oleh Presiden Sukarno. Sebagaimana dalam kongres pertama, beberapa pembicara menyampaikan preadvis. Isu kebahasaan dibagi menjadi lima isu yang dibahas dalam seksi ejaan dan tata bahasa, bahasa Indonesia dalam perundang-undangan dan administrasi, bahasa Indonesia dalam kuliah dan ilmu pengetahuan, bahasa Indonesia dalam hubungan masyarakat, dan bahasa Indonesia dalam hubungan internasional (pers dan radio).
Tampaknya pola tersebut kemudian menjadi pola umum dalam kongres-kongres selanjutnya. Putusan kongres selalu bertambah jumlahnya pada setiap kongres. Pembagian bidang atau seksi yang membahas isu kebahasaan juga semakin dinamis dan semakin kompleks. Dampaknya, berbagai putusan kongres yang semakin banyak tidak terkelola dengan baik.
Kongres Bahasa Indonesia memang merupakan kongres yang unik. Berbeda dengan kelaziman dalam kongres lain, kongres ini bukanlah merupakan kongres tempat lembaga kebahasaan mempertanggungjawabkan hasil kerjanya. Kongres ini membahas berbagai isu kebahasaan, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah kebahasaan, dan rekomendasi yang harus dilakukan oleh lembaga kebahasaan dan pihak yang terkait. Tidak semua rekomendasi itu juga mendapat evaluasi yang memadai. Sebagai contoh pada Kongres Bahasa Indonesia VI, tahun 1993, diusulkan pembentukan Badan Pertimbangan Bahasa sebagai mitra Pusat Bahasa saat itu. Rekomendasi itu belum dapat dilaksanakan, sehingga rekomendasi tersebut diulang pada Kongres Bahasa Indonesia VII, tahun 1998, dan Kongres Bahasa Indonesia VIII, tahun 2003.
Sudah saatnya pembaharuan dilakukan bukan hanya pada masalah kebahasaan, melainkan juga pada kongres itu sendiri. Isu-isu kebahasaan sudah dibahas pada ratusan seminar yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga. Harus ada pembedaan format dan isi antara seminar atau forum ilmiah kebahasaan dan kongres bahasa. Tahun ini inovasi dilakukan antara lain melalui kegiatan Kelas Mahir Leksikografi dan Kelas Mahir Linguistik Forensik. Kongres selanjutnya inovasi lain harus dilakukan. Mungkin kita perlu juga menapaktilasi semangat Kongres Bahasa Indonesia I dengan menempatkan cita-cita bahasa kembali sejajar dengan cita-cita politik, sehingga isu bahasa tidak terpinggirkan dan hanya dipolitisasi ketika bernilai politik tinggi.
Kongres memang tidak akan usai. Kongres masih harus tetap ada untuk menjaga nalar dan kewarasan dalam pengelolaan isu kebahasaan. Selamat berkongres.(*)