TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah pusat untuk mendesain Pulau Rempang sebagai The New Engine of Indonesia’s Economic Growth menuai polemik. Ribuan warga yang terancam digusur permukimannya gara-gara proyek ini menolak direlokasi. Bentrok antara aparat dan masyarakat setempat pun pecah pada awal September lalu.
Pulau Rempang dikembangkan menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga pariwisata terintegrasi bernama Rempang Eco City. Pengembang proyek ini, PT Makmur Elok Graha (MEG), pada tahap pertama menggandeng Xinyi Group. Investor asal Cina itu bakal membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa. Nilai investasinya sebesar Rp 175 triliun.
Pemerintah dituding melakukan intervensi dalam upaya melancarkan proyek strategis nasional atau PSN ini. Meski rencana relokasi pemukiman warga dibatalkan dan hanya “digeser”, tetapi Rempang Eco City tetap digegas. Sejumlah organisasi aktivis turut menanggapi dan membela masyarakat terdampak akibat kasus ini.
Berikut deretan tanggapan organisasi aktivis
1. Walhi Indonesia
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menyatakan pemerintah berpeluang rugi dalam investasi Pulau Rempang. Hal ini diungkapkan oleh Manager Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Indonesia Parid Ridwanuddin. Kata dia, selama ini pemerintah hanya bicara soal dampak ekonomi yang berpotensi dihasilkan. Namun, tidak menghitung apa yang hilang akibat investasi tersebut.
“Pernahkah pemerintah menghitung kontribusi ekonomi yang dihasilkan warga Pulau Rempang dari sektor perikanan dan sektor-sektor lain di sana?” kata Parid ketika dihubungi Tempo melalui sambungan telepon pada Rabu, 27 September 2023.
Kerugian itu, kata Parid, disebabkan pasir kuarsa yang digunakan untuk industri tersebut akan diambil dari perairan di Kepulauan Riau. Artinya, akan ada penambangan pasir besar-besaran untuk proyek Xinyi Group. Kalau sudah habis, tambang bakal menyisakan kerusakan. Artinya, kata dia, investasi ini merupakan keunggulan ekonomi jangka pendek. Itulah mengapa pemerintah sebenarnya justru akan merugi.
“Kita bangkrut secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Kita bukan tumbuh. Apalagi untuk memperbaiki kerusakan alam akibat proyek membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” ucapnya.
Parid juga mengomentari ihwal pemerintah yang terkesan tergesa-gesa. Menurutnya, pemerintah memperlakukan proyek tersebut seperti membuat mi instan yang hanya ingin cepat jadi padahal tidak direncanakan dengan matang. Pasalnya, kata dia, proyek bertaraf nasional ini tidak ada analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal-nya.
“Dari proses ini, mengapa kami sebut mie instan, ya karena analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) nggak ada. Kajian lingkungan strategis nggak ada,” ujar Parid
Padahal, menurut Parid, Pulau Rempang tergolong sebagai pulau kecil rentan. Terutama pada perubahan iklim. Kondisi itu, katanya, bisa semakin parah ketika pulau kecil dimanfaatkan untuk pembangunan industri berat. Menurut Parid, mestinya pemerintah melakukan kajian lingkungan sebelum menetapkan Rempang Eco City sebagai PSN.
“Tanpa perizinan tambang pun, kalau ada bencana iklim, dampaknya (bagi pulau kecil) akan luar biasa. Apalagi kalau Rempang dibebani industri berat untuk pengolahan pasir kuarsa,” kata Parid.
2. KontraS
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Dimas Bagus Arya mengkritik keras tindakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam berbagai PSN yang sudah dan tengah berjalan saat ini seperti di Pulau Rempang. Menurut dia, tindakan presiden tak sesuai dengan janji politiknya empat tahun lalu.
Dimas menyatakan konflik di Pulau Rempang hanya merupakan satu dari sekian banyak PSN yang bermasalah dan banyak memakan korban masyarakat. Dalam tiga tahun terakhir, menurut dia, sejumlah PSN lainnya juga mengorbankan masyarakat. Dia mencontohkan konflik Wadas, Jawa Tengah, konflik di Pulau Obi, Maluku hingga konflik agraria dalam pembangunan sirkuit internasional Mandalika di Nusa Tenggara Barat.
“Itu juga memakan banyak korban, melakukan pengusiran, dan kekerasan terhadap masyarakat, itu tidak sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi tahun 2019,” kata Dimas dalam konferensi pers di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kamis, 21 September 2023.
Kedatangan Dimas dan rekan-rekannya ke Komnas HAM itu untuk melakukan audiensi soal konflik Pulau Rempang. Dimas menyatakan KontraS dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lainnya telah melakukan investigasi soal masalah di sana. Mereka menyerahkan laporan temuan awal hasil investigasi tersebut ke Komnas HAM.
“Kami sudah menyampaikan beberapa temuan, juga ada analisis yang berkaitan dengan dimensi hak asasi manusia, dan pengarahan kekuatan lebih dari aparat keamanan serta operasi militer ilegal, kami sudah sampaikan dan diafirmasi oleh pihak Komnas HAM,” terang Dimas seusai menghadiri audiensi.
Dimas menyatakan pihaknya menemukan indikasi kuat terjadinya pelanggaran prosedur dalam penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian. Indikasi itu, menurut dia, terlihat berdasarkan keterangan seorang guru di salah satu sekolah yang menjadi sasaran gas air mata.
“Itu membantah pernyataan dari Kapolda Kepulauan Riau bahwa sudah dilakukan proses-proses secara prosedural terkait dengan penembakan gas air mata,” kata dia.
Selanjutnya: Begini respons kritis Komnas HAM sampai Ombudsman