TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK memeriksa anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Luqman Hakim, hari ini, Rabu, 27 September 2023. Lukman diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
"Pemeriksaan dilakukan di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jalan Kuningan Persada Kav. 4 Setiabudi, Jakarta Selatan," kata juru bicara KPK Ali Fikri, melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 27 September 2023.
Selain Luqman, KPK juga memeriksa dua orang lainnya dalam kasus ini, yaitu Rinto Sugita dan Irwan Arifiyanto. Keduanya anggota pegawai negeri sipil di Kemenaker.
KPK sebelumnya telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah eks Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kemenaker Reyna Usman; Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemenaker I Nyoman Darmanta; dan Direktur PT Adi Inti Mandiri Karunia.
KPK sempat periksa Ketum PKB Muhaimin Iskandar
KPK membuka kasus ini setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan sistem proteksi terhadap TKI itu tak berfungsi. Padahal pembangunan sistem itu pada 2012 memakan anggaran hingga Rp 20 miliar.
Komisi anti rasuah juga sempat memeriksa Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai saksi dalam kasus ini. Muhaimin diperiksa karena dia merupakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat pengadaan ini berlangsung.
Kemenaker sebut masalah sistem proteksi TKI sudah selesai
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari mengatakan, persoalan pengadaan program sistem proteksi tenaga kerja Indonesia atau TKI tersebut sebenarnya sudah selesai sejak tahun 2017, atau 4 tahun setelah ditemukan adanya kerugian negara.
Dita mengatakan, pada 2013 hasil audit BPK menemukan adanya kerugian negara dalam proyek tersebut senilai Rp 6 miliar.
"Memang ada temuan BPK, lupa (sekitar) 2013, kerugian negara Rp 6 miliar, tapi selesai secara administratif tahun 2017," kata kata Dita ditemui Tempo di ruangannya, Kamis, 7 September 2023.
Dita mengatakan, dalam hasil audit BPK, ditemukan adanya kesalahan spesifikasi hardware dalam pengadaan sistem tersebut, karena ada beberapa barang yang di-customize, sehingga perlu ada biaya tambahan dalam pelaksanaannya.
"Pada waktu itu ada beberapa barang yang sifatnya customizing, jadi memang dirakit untuk kebutuhan itu, karena barang cutomize itu kan pasti ada biaya perakitan, ada biaya reprograming, dan sebagainya," kata Dita.
Namun, kata Dita, BPK menganggap hal itu merugikan negara, karena adanya pekerjaan tambahan.
"Di BPK (biaya tambahan) itu nggak bisa, jadi kalau misalnya tv yang harus di-costumize dari satu menjadi empat agar bisa menjadi screen besar, hanya dihitung per unitnya, nggak dihitung biaya misalnya reprogramingnya, biaya tenaga, biaya costumize-nya disitu, itu soal lain," kata Dita.
IHSAN RELIUBUN| ADE RIDWAN YANDWIPUTRA