TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa Hukum Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014, Karen Agustiawan, Luhut MP Pangaribuan, membantah pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri yang menyatakan bahwa tindakan kliennya membel Liquified Natural Gas (LNG) atau gas alam cari tanpa kajian dan analisis menyeluruh. Menurut dia, kebijakan itu diambil Karen berdasarkan permintaan untuk memenuhi pasokan gas dalam negeri saat itu.
Luhut menyatakan pembelian LNG berbeda dengan barang lain karena ada tahapan yang harus dilalui. Menurut dia, saat Karen menjabat sebagai Dirut Pertamina, ada kebutuhan LNG dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan sektor industri lainnya. Akan tetapi, setelah LNG itu tiba tidak terserap karena digantikan oleh batu bara.
“Jadi tidak benar kalau disebut miskalkulasi. Kenyataannya negara menerima untung saat ini,” ujarnya kepada Tempo, Kamis, 21 September 2023.
Menurut Luhut, uang negara sama sekali tidak berkurang karena pembelian LNG kepada Corpus Christi itu. “Apalagi Pertamina juga berdasarkan anggaran dasarnya punya tugas dan fungsi yang luas,” kata dia.
Tudingan Firli
Sebelumnya Firli Bahuri menjabarkan tindakan yang membuat Karen Agustiawan harus menjadi tersangka dan menjalani penahanan dalam kasus korupsi pengadaan LNG PT Pertamina ini.
Firli menyatakan, Karen secara sepihak mengambil kebijakan dan keputusan untuk melakukan kontrak perjanjian jual beli LNG dengan perusahaan asal Amerika Serikat, Corpus Christi. Firli menyatakan tindakan itu dilakukan Karen tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh.
Karen, menurut Firli, juga tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero.
“Selain itu pelaporan untuk menjadi bahasan dilingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini Pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari Pemerintah saat itu,” kata Firli dalam konferensi pers penahanan Karen di Gedung KPK, Selasa, 19 September 2023.
Dengan begitu, terang Firli, LNG milik PT Pertamina yang dibeli dari Corpus Christi Amerika Serikat tidak terserap di pasar domestik. Akibatnya, terjadi suplai LNG berlebihan dan gas alam itu disebut tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
“Atas kondisi oversupply tersebut, berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina. Perbuatan KA bertentangan dengan ketentuan, di antaranya Akta Pernyataan Keputusan RUPS tanggal 1 Agustus 2012 tentang Anggaran Dasar PT Pertamina Persero,” ujar Firli. “Dari perbuatan GKK alias KA menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar USD140 juta yang ekuivalen dengan Rp 2,1 Triliun.”
Luhut sebut perjanjian yang ditandatangani Karen sudah diganti
Luhut pun mempertanyakan tudingan KPK bahwa Karen telah membuat perjanjian jual beli dengan Corpus Christie pada 2013 dan 2014 yang merugikan negara. Pasalnya, menurut dia, perjanjian itu telah direvisi seluruhnya pada 2015, saat Karen tak lagi menjabat sebagai Dirut Pertamina. Karena mundur dari posisi itu pada 1 Oktober 2014.
“Perjanjian terakhir ini (2015) telah mengatur bahwa perjanjian 2013 dan 2014, serta seluruh kesepakatan lisan maupun tulisan lain yang bersumber dari keduanya, tidak lagi berlaku. Itu eksplisit,” ujar Luhut.
Perjanjian pada 2015, menurut Luhut, ditandatangani oleh pengganti Karen Agustiawan, Dwi Soetjipto, dan penandatanganannya disaksikan langsung oleh Presiden Jokowi. Menurut dia, perjanjian 2015 inilah yang seharusnya menjadi dasar hukum tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana) perhitungan kerugian, jika ada.
“Lalu seharusnya kerugian baru bisa dihitung pada tahun 2040 saat perjanjian berakhir. Artinya pada tahun 2040 baru ada ketahuan apakah ada kerugian yang pasti jumlahnya dan nyata,” terang dia.