TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar anggota Paspampres Praka RM dan dua rekannya yang menganiaya Imam Masykur diproses pada peradilan umum dan tidak dalam peradilan militer.
Imam Masykur merupakan warga Aceh yang diculik oleh anggota Paspampres berinisial Praka RM bersama dua rekannya. Adapun dua rekannya berasal dari satuan Direktorat Topografi TNI AD dan satuan Kodam Iskandar Muda. Imam Masykur, seorang pria penjaga toko kosmetik di Kelurahan Rempoa, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, diculik dari kiosnya pada Sabtu, 12 Agustus 2023. Imam tewas kemudian setelah disiksa setelah Praka RM cs meminta tebusan Rp 50 juta.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari PBHI, Centra Initiative, Amnesty Internasional, YLBHI, KontraS, dan Imparsial, mengecam penculikan dan pembunuhan terhadap Imam Masykur.
“Koalisi mendesak agar proses hukum terhadap oknum anggota Paspampres itu dilakukan dalam peradilan umum dan tidak dalam peradilan militer,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, dalam keterangan tertulis, Senin, 28 Agustus 2023.
Hal ini, kata Usman, menjadi penting untuk memastikan proses hukumnya berlangsung dengan transparan dan akuntabel. Ia mendesak tidak boleh ada yang ditutup-tutupi dalam penyelesaian kasus ini sehingga keadilan bagi korban dan keluarganya dapat terpenuhi.
Koalisi menilai tindakan penculikan dan penyiksaan yang berujung kematian warga sipil oleh anggota Paspampres tidak hanya telah mencoreng nama kesatuan pengamanan Presiden itu sendiri, tetapi juga menjadi bukti bahwa aksi kekerasan dan kejahatan yang melibatkan anggota TNI belumlah berhenti. Sebelumnya terdapat kasus-kasus kekerasan aparat TNI yang terjadi di sejumlah daerah terutama di Papua.
“Tindakan kekerasan seperti ini akan terus terjadi sepanjang tidak ada penghukuman yang adil dan maksimal terhadap oknum anggota militer yang terlibat kejahatan,” kata Usman.
Selama ini, terdapat kasus-kasus kekerasan dan kejahatan pidana lainnya yang melibatkan anggota TNI tetapi penghukumannya ringan, terkadang dilindungi bahkan ada yang dibebaskan. Misalnya kasus penyerangan Lapas Cebongan, kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Papua, Kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay, Kasus korupsi pembelian helikopter AW-101, kasus korupsi Basarnas, dan lain-lain.
“Penghukuman yang tidak adil terjadi akibat oknum anggota TNI yang terlibat kejahatan diadili dalam peradilan militer yang sama sekali tidak memenuhi prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trial) yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas,” ujar Usman.
Selain meminta kasus Imam Masykur diadili di ranah peradilan umum, Koalisi juga mendesak Presiden dan DPR untuk segera melakukan reformasi peradilan militer diantaranya dengan merevisi UU Peradilan Militer dan tidak menunda-nundanya lagi. Penundaan proses reformasi peradilan militer akan membuka ruang besar kembali berulangnya kejahatan dan kekerasan seperti dalam kasus Imam Masykur dan kasus lainnya.
Koalisi mendesak kepada Presiden dan DPR agar segera melakukan reformasi peradilan militer dengan cara membuat Perpu tentang perubahan sistem peradilan militer atau segera mengajukan revisi terhadap UU peradilan militer.
Koalisi mengatakan peradilan militer selama ini cenderung menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang terlibat kejahatan. Menurut Koalisi, UU Nomor 31 tahun 1997 yang menjadi dasar peradilan militer, sejatinya memang didesain untuk melindungi anggota militer yang melakukan kejahatan dan melindungi rezim Soeharto karena UU ini dibuat di masa akhir pemerintahan orde baru.
“Politik hukum undang-undang peradilan militer sepenuhnya untuk melindungi kepentingan rezim Soeharto serta anggota militer yang melakukan kejahatan,” ujarnya.
Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), meminta agar Presiden dan DPR tidak boleh diam apalagi takut untuk melakukan agenda reformasi peradilan militer. Presiden dan DPR, ucap Isnur, jangan lari dari tanggung jawab konstitusionalnya untuk melakukan penegakan prinsip negara hukum yang di dalamnya mengharuskan adanya asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
“Tidak boleh ada warga negara yang diistimewakan di hadapan hukum. Semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum sehingga semua wajib diadili dalam peradilan yang sama jika terlibat kejahatan yakni di dalam peradilan umum,” ujar Isnur.
Koalisi menegaskan agenda reformasi peradilan militer adalah sebuah mandat rakyat yang telah dituangkan dalam TAP MPR nomor VII tahun 2000 dan mandat UU nomor 34 tahun 2004 itu sendiri (Pasal 65 UU TNI). Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Presiden dan DPR untuk tidak melakukan pembahasan revisi UU nomor 31 tahun 1997.
“Apalagi kasus kekerasan dan kejahatan (penculikan, pembunuhan, korupsi, penyiksaan dll) terus berulang yang melibatkan oknum anggota militer,” tutur Isnur.
Pilihan Editor: Paspampres Penculik Imam Masykur Sempat Mengaku Sebagai Polisi ke Warga