TEMPO.CO, Batam - Ribuan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Melayu menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau yang biasa disingkat BP Batam, pada Rabu, 23 Agustus 2023. Mereka menolak rencana relokasi yang dilakukan BP Batam untuk pembangunan mega proyek Rempang Eco City
Ribuan massa tersebut berasal dari 50 kampung adat yang terdapat di Kota Batam. Massa mulai datang sejak pukul 08.00 wib pagi menggunakan mobil pick up dan dump truk.
Massa mengenakan baju hingga tanjak, aksesoris penutup kepala lelaki berbentuk runcing ke atas yang biasanya terbuat dari kain songket, khas melayu. Beberapa orang juga membawa spanduk bertuliskan penolakan relokasi.
Terdapat empat poin yang mereka sampaikan dalam kesempatan itu. Empat poin tersebut yaitu, warga menolak tegas relokasi 16 titik kampung adat tua yang berada di wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang.
Warga juga meminta BP Batam dibubarkan, meminta pemerintah mengakui tanah adat dan ulayat warga, dan meminta pemerintah menghentikan intimidasi terhadap masyarakat yang menolak relokasi Kampung Tua, Rempang Galang
"Relokasi bukanlah solusi, kalau memang kami relokasi kami akan tidur disini (BP Batam)," kata salah saorang orator yang menyampaikan tuntutannya dari atas mobil komando.
Tanggapan dari Kepala BP Batam
Setelah orasi, massa meminta Kepala BP Batam Muhammad Rudi. untuk menemui warga. Selang beberapa saat Rudi menemui warga.
Rudi mengatakan, rencana pembangunan di Pulau Rempang-Galang ini sudah dimulai sudah sejak 2004.
"2004 sudah ada MOU (pembangunan Pulau Rempang) antara Pemko (Pemerintah Kota) Batam, BP Batam, dan PT Megah Elok Graha," kata Rudi.
Setelah terkatung-katung selama hampir dua dekade, kata Rudi, perusahaan yang berada di bawah naungan grup Artha Graha milik Tomy Winata itu akan berinvestasi kembali.
"Bahwa mereka akan investasi kembali, artinya saya meneruskan," kata Rudi.
Bebeberapa kali pernyataan Rudi diteriaki oleh massa. "Tolak, tolak relokasi," kata salah seorang massa. Aksi tersebut membuat Rudi bereaksi. "Bapak kalau tidak dengar tidak masalah, ini mau kita carikan jalan keluar, kalau tidak mau dengar saya kembali," katanya.
Rudi melanjutan, setelah perjanjian pada 2004 itu dilanjutkan dia sempat beberapa kali dipanggil ke Jakarta oleh pemerintah pusat.
"Ini kebijakan pusat sampai ke daerah, kita sudah dipanggil beberapa beberapa kali ke Jakarta, ini adalah kebijakan pusat sampai ke daerah," kata dia.
Rudi menjanjikan, akan membawa masalah 16 kampung adat masyarakat Pulau Rempang dan Pulau Galang ini ke pemerintah pusat.
"Bukan berarti kita tidak perjuangan (nasib warga), tetapi kewenangan kita terbatas, tentu permintaan kita ke pemerintah pusat tidak akan menyusahkan bapak ibu semua," katanya.
Saat ini, kata Rudi, BP Batam sedang melakukan verifikasi lahan apakah itu termasuk hutan lindung atau kampung adat. Dia pun berjanji lahan yang termasuk dalam kampung warga akan dikeluarkan dari wilayah konsesi investasi PT Megah Elok Graha.
"Selama ini saya tidak dapat keputusan dari pusat untuk pengantian ini makanya saya tidak bisa ketemu bapak sekalian," kata Rudi.