Kedua, Nenden menyatakan pembahasan revisi UU ITE seharusnya tidak parsial hanya mencakup pasal-pasal pidana, melainkan dapat menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola Internet, terutama rumusan Pasal 40 terkait tata kelola konten digital. Ia mengatakan selama ini Pasal 40 memberikan kewenangan yang terlalu besar pada pemerintah dengan tidak membedakan antara konten ilegal dan konten berbahaya, serta sanksi yang berlebihan dan melanggar hak-hak digital.
“Hal tersebut berimbas pada tindakan pemutusan internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 dan tindakan pemblokiran 8 aplikasi digital pada akhir Juli 2022,” tuturnya.
Ketiga, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar pembahasan revisi kedua UU ITE tidak dilakukan terburu-buru untuk memastikan publik dilibatkan secara bermakna dan aspirasinya didengar serta diakomodasi dalam Rancangan Undang-undang ITE yang akan disahkan dalam waktu dekat.
Kekhawatiran ini muncul karena proses revisi UU ITE dilakukan secara tertutup tanpa ada ruang bagi publik untuk mengawasinya. Sekalipun perwakilan masyarakat sipil memang pernah diundang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) oleh Komisi 1 DPR RI terkait revisi UU ITE, tetapi selanjutnya publik tidak dapat mengetahui, sejauh mana masukan dari kelompok masyarakat sipil diakomodasi oleh DPR dalam rapat-rapat pembahasan.
Ingatkan janji Wamenkumham
Sementara pada pertemuan pada 23 Juli 2023, Koalisi kembali mengingatkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej tentang pernyataannya pada November 2022, terkait penghapusan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika KUHP baru disahkan.
Namun dalam draf revisi UU ITE bertanggal 12 Juli 2023, Koalisi melihat tidak adanya harmonisasi antara KUHP baru tersebut dengan draft revisi kedua UU ITE yang justru masih mempertahankan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan. Hal yang sama juga disampaikan perwakilan Koalisi saat bertemu Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi pada 24 Juli 2023.
“Dengan masih adanya pasal-pasal karet itu, Koalisi khawatir kriminalisasi terhadap warga, pembela HAM termasuk jurnalis, pembela lingkungan dan perempuan pembela HAM akan terus terjadi di masa mendatang,” kata Nenden.
Kekhawatiran itu bukan tanpa preseden. Berdasarkan catatan Amnesty International, sepanjang 2019-2022 terdapat setidaknya 316 kasus kriminalisasi yang menggunakan UU ITE dengan 332 korban. Nenden mengatakan catatan ini ironis karena pemerintahan Presiden Joko Widodo terus menyatakan perlindungan HAM merupakan salah satu prioritas mereka. “Namun faktanya terdapat kemunduran dalam penegakan HAM dan reformasi hukum,” kata dia.
Selanjutnya, pasal karet UU ITE dinilai belenggu kemerdekaan masyarakat