TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. International NGO Forum on Indonesian Development atau INFID dan Setara Institute menilai masih ada norma yang berpotensi menimbulkan diskriminasi, terutama bagi kelompok minoritas agama dan kepercayaan dalam rancangan Perpres tersebut.
Kedua lembaga nirlaba itu pun mengeluarkan empat poin catatan terhadap rancangan Perpres tersebut.
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah mengatakan bahwa empat poin utama ini merupakan ringkasan dari 21 perubahan baik meliputi perubahan redaksi maupun perubahan substansi yang berimplikasi pada penikmatan hak-hak konstitusional masyarakat, terutama dalam penikmatan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Rancangan Perpres PKUB ini merupakan peningkatan aturan dari peraturan kerukunan umat beragama dan bekepercayaan yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006.
Aturan itu mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Sayyidatul mengatakan dalam poin pertama rekomendasi mereka adalah soal inklusi penghayat kepercayaan dalam pengaturan PKUB. Sebab dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 telah mengafirmasi kesetaraan antara agama dengan kepercayaan.
"Namun demikian, diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan masih sering terjadi," katanya.
Menurut Sayyidatul, dalam rancangan Perpres ini, mulai dari redaksi maupun substansi masih minim menyebutkan soal penghayat kepercayaan. Sehingga, kata dia, inklusi penghayat kepercayaan harus dilembagakan melalui rancangan perpres tersebut.
"Oleh karena itu, Ranperpres PKUB mesti menginklusi eksistensi Penghayat Kepercayaan dan hak-hak mereka," katanya.
Poin kedua adalah integrasi Tata Kelola Pemerintahan Inklusif sebagai prinsip utama tugas pemerintahan kepala daerah dalam PKUB. Sayyidatul mengatakan bahwa usul pengintegrasian tata kelola pemerintahan inklusif dalam Ranperpres PKUB ini perlu ditambahkan dalam beberapa pasal diantaranya Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 yang pada pokoknya memuat tugas dan wewenang pemerintah daerah dalam PKUB.
Sayyidatul mengatakan, tata kelola pemerintahan inklusif ini bertolak dari kebutuhan mengakselerasi kinerja pemerintahan daerah dalam mengatasi praktik intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan mengelola faktor-faktor intoleransi yang terjadi pada lapis negara dan lapis masyarakat sekaligus.
"SETARA Institute dan INFID memandang bahwa tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif merupakan fondasi penting bagi pemajuan toleransi dan kerukunan di daerah-daerah," katanya.
Adapun poin ketiga dalam rekomendasi mereka adalah soal transformasi pendirian rumah ibadah. Setara Institute, kata Sayyidatul, meminta adanya penegasan syarat 60 orang yang dapat berasal dari satu agama maupun berbeda agama, adanya sanksi bagi kepala daerah yang tidak memberikan keputusan perihal pendirian rumah ibadah dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dan perluasan subjek pemohon rumah ibadah.
"Dirumuskan beberapa perubahan untuk meminimalisasi penolakan terhadap pendirian rumah ibadah. Di antaranya, meliputi penegasan syarat 60 orang," katanya.
Keseluruhan usulan ini kata sayyidatul untuk mempermudah masyarakat dalam menikmati hak beribadah yang telah dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) konstitusi.
"Usulan revisi ini perlu ditambahkan dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 23 ayat (2) huruf b, dan Pasal 24, yang pada pokoknya berkenaan dengan pendirian rumah ibadah," katanya.
Dalam data yang dikumpulkan Setara Institute pada 2007-2022, telah terjadi 573 masalah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan berupa gangguan peribadatan dan tempat ibadah. Gangguan itu antara lain, pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya.
Poin keempat kata Sayyidatul, reformasi kelembagaan FKUB. Sayyidatul mengatakan kemajuan mendasar yang dirumuskan dalam Ranperpres PKUB adalah tiadanya kewenangan FKUB untuk memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah.
"Hal tersebut perlu diapresiasi sebagai political will yang baik dari pemerintah untuk mengurangi salah satu faktor terhambatnya pendirian rumah ibadah yang terjadi selama ini, mengingat selama ini rekomendasi FKUB seringkali menjadi pemicu terjadinya penolakan pembangunan rumah ibadah," katanya.
Pilihan Editor: Forum R20 Bali Bahas Persekusi oleh Pemeluk Agama Mayoritas