TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD memastikan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tetap akan berjalan meski saat ini pemerintah meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. KKR nantinya bakal menjadi pihak yang mengusut kejahatan HAM berat masa lalu untuk diselesaikan secara non-yudisial.
"Undang-Undang tentang KKR karena hal itu diperlukan untuk masa-masa yang akan datang, sehingga juga akan terus diusahakan untuk dibuat," ujar Mahfud MD dalam tayangan langsung yang disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 27 Juni 2023.
Mahfud MD menjelaskan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebelumnya telah diusahakan sejak tahun 1998 melalui Ketetapan MPR nomor 17 tahun 1998, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Ketiga peraturan Perundang-Undangan tersebut mendorong agar pelanggaran HAM berat pada masa lalu diselidiki dan diputuskan oleh Komnas HAM untuk diselesaikan melalui dua jalur, yaitu penyelesaian yudisial melalui Pengadilan HAM dan penyelesaian non-yudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR.
Namun, Mahfud menyebut setelah lebih dari dua dekade upaya penyelesaian melalui dua jalur tersebut, hasilnya jauh dari harapan. Upaya mengusut pelanggaran HAM berat masa laluselalu gagal dibuktikan di pengadilan. Sehingga dari empat peristiwa dengan 35 terdakwa yang diajukan ke Pengadilan HAM semuanya pada akhirnya dibebaskan oleh pengadilan. "Masalahnya pembuktiannya berdasar hukum acara pidana sangat sulit dipenuhi. Adapun upaya membentuk KKR juga kandas, karena Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menghadapi banyak hambatan yang rumit untuk membuat Undang-Undang KKR yang baru," kata Mahfud MD.
Sembari menunggu pembuatan UU KKR yang baru, Mahfud menyebut pemerintah tidak bisa berdiam diri. Sampai akhirnya pada tahun lalu, Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu atau dikenal sebagai Kepres PP HAM. "Daripada berdiam diri dan menunggu selesainya kerumitan-kerumitan melalui dua jalur tersebut, Presiden mengambil kebijakan untuk melakukan langkah-langkah pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu lebih dulu," kata Mahfud MD.
Meski Kepres PP HAM telah terbit, Mahfud MD memastikan tidak meniadakan keharusan dan upaya penyelesaian yudisial terhadap kejahatan HAM berat masa lalu. Keppres PP HAM, kata dia, semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi hak para korban lebih dahulu, sebelum masalah di KKR dan polemik Pengadilan HAM selesai.
Melalui penerbitan Kepres PP HAM ini, Mahfud MD menyebut negara ingin menekankan korban bukan pelaku. Sementara untuk pelaku pelanggaran HAM berat akan terus diupayakan diselesaikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Mahfud mengklaim setelah Kepres PP HAM diterbitkan oleh Jokowi pada tahun 2022, kementerian dan lembaga negara serta tim pemantau sudah menyusun program-program dan sebagian sudah mulai direalisasikan. Mengenai alasan dipilihnya Provinsi Aceh sebagai awal dimulainya realisasi rekomendasi Tim PP HAM, Mahfud MD menyebut didasarkan pada tiga hal, meliputi: kontribusi penting dan bersejarah rakyat dan Provinsi Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia; penghormatan negara terhadap bencana kemanusiaan tsunami tahun 2004; dan respek pemerintah yang begitu tinggi terhadap proses perdamaian yang berlangsung di Aceh.
"Ketiga hal tersebut memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat, relevan dengan agenda pemenuhan hak korban dan pencegahan yang sudah, sedang dan akan terus dilakukan. Di area ini merupakan tempat terjadinya rumah gedong yang akan dibangun masjid atas permintaan masyarakat atas usul masyarakat atau keluarga korban," kata Mahfud MD.
Pilihan Editor: Rumoh Geudong Dirobohkan, Begini Tanggapan Pemkab Pidie