TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Apituley menyayangkan anak-anak Papua kerap diabaikan dalam diskursus sosial politik di tengah ramainya hiruk pikuk tahun pemilu. “Paling banter dibicarakan soal stunting dan jika ada KLB,” kata Sylvana kepada Tempo, Selasa, 20 Juni 2023.
Padahal, kata Sylvana, situasi anak-anak Papua sehari-hari cukup kompleks. Bahkan, Pemerintah Daerah Papua sendiri mengakui mereka masih kesulitan berjuang untuk perlindungan dan pemenuhan anak-anak Papua. Sylvana menuturkan, meski Pemda Papua telah melakukan banyak hal untuk mengentaskan masalah anak-anak, namun banyak terabaikan karena program yang tidak jalan disebabkan berbagai faktor.
Dalam pengawasan KPAI di tiga kabupaten Provinsi Papua dan Papua Tengah pada 12-16 Juni 2023, KPAI mencatat gambaran umum situasi anak, khususnya anak-anak asli Papua, yang memerlukan perhatian serius semua pihak. Selain pengawasan, lanjut Sylvana, kunjungan KPAI turun ke lapangan ini sekaligus untuk menindaklanjuti pengaduan langsung Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur/Lepemawi tentang dugaan dampak limbah PT Freeport Indonesia (PTFI). Limbah ini diduga mengakibatkan munculnya masalah kesehatan kulit pada anak-anak di Kampung Ohotya yang terpencil di distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika.
Akan tetapi, dialog KPAI dengan Freeport batal dilakukan karena keterlambatan dan keterbatasan waktu. KPAI berharap dalam waktu dekat Freeport dapat memberikan penjelasan lengkap terhadap pertanyaan Lewema dan warga Kampung Ohotya mengenai penyakit kulit yang diderita oleh kurang lebih 50 anak usia balita hingga SD-SMP.
Dalam temuan di lapangan, KPAI menyimpulkan anak-anak Papua hidup dalam situasi extraordinary (luar biasa) dan rentan mengalami diskriminasi, kekerasan berlapis, serta pengabaian dan pelanggaran hak-hak asasinya sebagai manusia yang dilindungi oleh Konstitusi dan sejumlah undang-undang nasional lainnya.
“Walaupun memiliki status Otonomi Khusus disertai kebijakan anggaran puluhan triliun per tahun, Papua adalah satu-satunya provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) paling rendah dibandingkan semua provinsi di Indonesia,” kata Sylvana, dikutip dari keterangan tertulis kepada Tempo. Apalagi situasi ekonomi, sosial, budaya, politik dan keamanan Papua yang belum membaik dan tidak stabil, serta terbukanya potensi terjadinya pengabaian dan pelanggaran HAM, semakin menimbulkan risiko hidup dan tumbuh-kembang anak-anak Papua.
Upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak yang telah dilakukan oleh Pemerintah maupun lembaga pemerhati hak anak dan elemen masyarakat lainnya belum cukup. Sylvana mengatakan laporan para pemerhati hak anak mengkonfirmasi informasi enam Pemda kepada KPAI. Pemprov Papua mengidentifikasi setidaknya 30 masalah mendesak anak-anak Papua. 30 masalah anak tersebut dirangkum menjadi 15 klaster permasalahan, meliputi:
1. Kekerasan yang dialami dalam keluarga, penelantaran, dan pengasuhan bermasalah
2. Anak penghirup lem aibon dan napza terutama ganja serta konsumsi miras;
3. Prostitusi anak, pornografi, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan masalah lainnya yang mengintai anak-anak di sekitar lokalisasi, bar dan “salon plus” yang muncul menjamur di berbagai tempat;
4. Masalah kesehatan lainnya yang kompleks mulai dari cakupan imunisasi dasar yang rendah, ancaman stunting dan budaya makan makanan instan kemasan sebagai dampak berkembangnya kampung menjadi kota dan masuknya berbagai komoditi dan makanan kemasan yang didatangkan dari luar wilayah Papua, ancaman malaria serta KLB campak dan gizi buruk di wilayah-wilayah 3 T termasuk di kabupaten-kabupaten daerah otonomi baru (DOB), anak dengan HIV-AIDS (terutama di wilayah pegunungan) serta minimnya infrastruktur dan SDM layanan kesehatan;
5. Hilangnya atau minimnya akses atas pendidikan usia dini, masih adanya berbagai jenis pungutan di sekolah negeri, penyelewengan dana BOS hingga minimnya, atau bahkan absennya, tenaga pendidik, serta kualitas layanan pendidikan dasar-menengah yang rendah;
6. Maraknya perundungan hingga kekerasan seksual;
7. Kebiasaan perkawinan anak;
8. Cakupan kepemilikan akta lahir dan kartu identitas lainnya yang sangat rendah (53,7 persen) jauh di bawah angka rerata nasional (92 persen);
9. Minimnya akses dan kesempatan anak untuk berpartisipasi secara bermakna, mengekspresikan dan menyampaikan pendapat, pandangan dan pertimbangannya dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam proses Musrenbang dari tingkat kampung hingga provinsi;
10. Ketimpangan pembangunan dan seluruh dampaknya, karena faktor geografis daerah 3 T, khususnya di provinsi dan kabupaten hasil pemekaran (DOB);
11. Anak di wilayah terdampak tambang, baik tambang oleh perusahaan multinasional hingga tambang tradisional;
12. Dampak negatif digitalisasi dan budaya digital melalui medsos;
13. Anak berkebutuhan khusus dan anak berhadapan dengan hukum;
14. Penyalahgunaan atau eksploitasi anak dalam konteks politik/Pemilu dan Pilkada
15. Anak dalam pusaran konflik, baik sebagai pelaku, terutama sebagai korban. Baik itu dalam konflik tradisional berupa “perang suku” (yang terkini di Nabire), maupun konflik bersenjata, terutama di kabupaten Intan Jaya dan Nduga yang menciptakan gelombang pengungsi internal (internal displaced people) termasuk anak-anak.
“Dari 15 klaster permasalahan anak ini, dapat terlihat luas dan kompleksnya realita perlindungan dan pemenuhan hak anak-anak Papua,” kata Sylvana.
KPAI mencatat pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan kualitas hidup anak melalui perlindungan dan pemenuhan hak anak. Sylvana mengatakan pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya mulai dari terbitnya regulasi penanganan dan pencegahan, hingga penyediaan layanan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap anak.
Ia mencontohkan Kabupaten Jayapura yang terus berupaya mencapai target sebagai Kabupaten Layak Anak melalui penerbitan Perda Kabupaten Layak Anak, melatih keluarga-keluarga tentang pengasuhan (Pengasuhan dengan Cinta), membentuk Forum Anak di 18 kampung/3 distrik sebagai ruang bagi anak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan di tingkat kampung.
Sementara itu, Kabupaten Mimika fokus pada penanganan anak-anak pengguna aibon dan narkoba. Mimika juga berkolaborasi dengan Dinas Admindukcapil untuk mendistribusikan akta lahir langsung bagi anak-anak yang baru lahir di RS maupun di poliklinik; serta melayani komunitas di wilayah terpencil/terpencil/terisolir. Kemudian, Kabupaten Nabire yang sedang menyusun Ranperda Kabupaten Layak Anak, meningkatkan upaya perlindungan anak dari KDRT, dan merancang sekolah berasrama untuk anak-anak dari distrik 3 T.
Sylvana mengatakan Provinsi Papua juga fokus pada penanganan stunting, akan mengembangkan sistem perlindungan anak berbasis agama dan adat di kampung-kampung, dan sistem terobosan untuk pencapaian target pemenuhan hak anak atas akta lahir. Selain itu, Pemprov Papua berkomitmen akan memperkuat kelembagaan Dinas PPPA maupun KPAD Papua. Di sisi lain, Provinsi Papua Tengah berkomitmen akan membangun sistem pendidikan berasrama dan menggunakan metode jemput bola dengan layanan keliling.
“Ini dilakukan untuk mengejar target pencapaian kepemilikan akta lahir dan kartu identitas anak, khususnya bagi anak-anak dari distrik-distrik terjauh dan terpencil atau terisolir,” kata Komisioner KPAI tersebut.
Pilihan Editor: KPAI: Pemkot Jambi Harus Pastikan Siswi Pengkritik Wali Kota Syarif Fasha Aman