INFO NASIONAL - Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan pentingnya peningkatan literasi digital di Indonesia. Berdasarkan survei, indeks literasi digital bangsa ini masih di angka 3,49 dari skala 5.
“Artinya masih di kategori sedang, belum mencapai kategori baik. Angka ini perlu terus kita tingkatkan,” ujarnya saat menjadi Keynote Speaker dalam Ngobrol @Tempo “Hoax Pemilu Bikin Halu. Anak Muda Wajib Tahu” di Gedung Tempo, Selasa, 30 Mei 2023.
Masih minimnya literasi digital jadi salah satu penyebab suburnya konten hoaks di jagat maya dan memicu perpecahan di antara masyarakat, terutama menjelang pemilu seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 silam.
Ketua Presidium Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, menjelang pemilu biasanya berita hoaks menyebar 6 kali lebih cepat daripada sebelumnya.
Mafindo dan Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi berkolaborasi dengan KemenKominfo berjuang melawan masifnya persebaran hoaks melalu kelas digital Kebal Hoaks. Mafindo juga bekerja sama dengan institusi lainnya seperti KPU, Satgas Covid-19 (saat pandemi berlangsung), hingga aparat di daerah dan media seperti Tempo (melalui kanal Cek Fakta Tempo).
Namun, Septiaji mengaku seluruh upaya itu belum cukup. Diperlukan lebih banyak orang terlibat dalam gerakan ini. “Kita butuh darah segar, kita butuh ide-ide kreatif anak muda. Jadi, kita butuh anak-anak muda bergabung di sini,” ucapnya.
Pelibatan anak muda atau generasi milenial menjadi relevan. Mereka sangat akrab dengan dunia digital sehingga dapat membuat konten-konten yang mengandung kebenaran, atau setidaknya menangkal hoaks.
Septiaji memberi contoh anak muda dapat membuat konten berupa meme, video atau kartun yang mengingatkan betapa bahayanya kabar hoaks. Pengalaman di Pemilu 2019 membuktikan bahwa hoaks memicu perpecahan antara keluarga atau pertemanan.
“Masyarakat kita menyukai berita yang singkat, visual menarik, lebih disukai dari konten berita yang faktual dan panjang. Ini menjadi tantangan kita dalam melawan hoaks. Masih cukup timpang, dari 30-an kanal view nya sampai 1 miliar, sedangkan konten edukasi kita jauh di bawah itu,” tutur dia.
Jika anak muda gencar membuat konten tentang bahaya hoaks, Septiaji melanjutkan, lambat laun masyarakat akan sadar, dan bisa jadi pembuat hoaks semakin tersudut atau malu.
Dua cara lain yang patut dilakukan anak muda adalah berani mengungkap fakta, kemudian menjaga diri agar tak mudah terpapar dengan rajin mengklafirikasi setiap kabar yang muncul di media sosial.
“Butuh keberanian jadi pembawa perubahan,” ucap Certified Profsional Coach & Communication Practitcioner, Dea Rizkita. Artinya, anak mudah jangan diam saja ketika melihat unggahan yang tidak jelas kebenarannya. Di Facebook misalnya, tersedia fitur untuk melaporkan konten hoaks.
Sedangkan terkait klafirikasi, ini berarti perlunya anak muda mawas diri, selalu mengecek kembali setiap konten yang dilihatnya. “Kita harus kontrol diri. Saat nanti (jelang Pemilu 2024) hoaks muncul lagi, belajar deh dari pengalaman di Pemilu 2019. Kontrol diri merupakan modal penting untuk menanggapi berita,” kata Dea.
Anak muda sudah terbiasa dengan media sosial baik Facebook, Instagram, TikTok, dan lainnya. Semestinya memiliki insting ketika melihat konten-konten yang mengejutkan. Menurut Dea, indikator kabar yang tidak jelas kebenarannya dapat dilihat dari sejumlah faktor, yakni judulnya sensasional atau kontroversial. Saat menjumpai hal tersebut, jangan malas berupaya meneliti dan mengklarifikasi lagi.
Cara ini sangat penting di masa ini, ketika Pemilu 2024 sudah di depan mata. Akan muncul kabar-kabar dari pendukung satu calon yang mendeskreditkan calon lainnya. Anak muda patut membedakan kabar fakta dan diragukan.
Anak muda juga harus menggunakan waktu ini untuk mencari pemimpin yang paling tepat sesuai logika. Gunakan waktu sebanyak mungkin untuk menyelidiki setiap calon pemimpin.
“Ketika kita memilih pasangan, pilihnya sangat teliti dan hati-hati. Nah, begitu juga saat memilih calon pemimpin yang akan membawa keberlangsungan negara selama 5-10 tahun ke depan. Kalau kamu antipati, sayang banget. Kita harus memilih agar tak menyesal di kemudian hari,” ujar Dea. (*)