TEMPO.CO, Jakarta - Perjuangan para aktivis menuntut reformasi akhirnya membuahkan hasil. Setelah berbagai gejolak terjadi dalam negeri, Presiden Soeharto memutuskan mundur pada 21 Mei 1998.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998,” kata Presiden RI ke-2 itu dengan nada datar.
Melansir Antara, spontan para mahasiswa yang telah beberapa hari menduduki Gedung MPR/DPR RI di Senayan, bersorak riang gembira. Sebagian dari mereka bahkan menceburkan diri ke dalam kolam menyambut euforia reformasi atas lengsernya rezim Orde Baru. Tahta The Smiling General yang bercokol selama 32 tahun runtuh disambut gegap gempita rakyat.
Lantas apa yang terjadi sehari setelah lengsernya Soeharto sebagai penanda awal mulainya era Reformasi ini?
Usai mundur, Soeharto menunjuk wakilnya, BJ Habibie sebagai pengganti. Habibie kemudian melakukan sejumlah perombakan di bidang militer. Pada 22 Mei 1998 pukul 06.10, Habibie memutuskan Panglima ABRI Jenderal Wiranto menjabat sebagai Menhankam/Pangab.
Habibie juga melengserkan Prabowo Subianto yang saat itu menjabat Pangkostrad. Menurut Habibie, Wiranto menganggap Prabowo berupaya melancarkan rencananya sendiri di luar kendali Pangab. Karier Prabowo di kemiliteran seret sejak saat itu dan berakhir dengan “pemecatan” dirinya.
Habibie dalam bukunya, Detik-Detik Yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) menuliskan Wiranto meminta petunjuk kepada dirinya yang baru diangkat terkait rencana Prabowo. Atas dasar tersebut, Habibie mengambil kesimpulan Prabowo bertindak tanpa sepengetahuan Pangab.
“Pangab melaporkan bahwa pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta. Jenderal Wiranto mohon petunjuk. Dari laporan tersebut, saya berkesimpulan bahwa Pangkostrad bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab,” tulis Habibie.
Prabowo lantas menghadap kepada Habibie untuk melepaskan jabatannya pada 23 Mei 1998. Sebelum menerima keputusan itu, dia sempat mempertanyakan pencopotan jabatannya tersebut. Ia juga menyatakan pencopotan itu merupakan bentuk penghinaan kepada dirinya sebagai menantu Soeharto dan keluarganya.
“Orang-orang” Soeharto perlahan disingkirkan di era reformasi. Enam agenda awal reformasi salah satunya adalah mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Mereka kemudian diam-diam menyingkir ke luar negeri. Tujuan langsungnya adalah Singapura, di mana beberapa tinggal secara permanen. Sementara yang lain pindah ke Australia, AS, dan Kanada. Banyak dari mereka kembali ketika situasi politik stabil beberapa tahun kemudian.
Melansir Majalah Tempo Edisi Khusus Soeharto, Senin 4 Februari 2008, setelah lengser sebagai Presiden, Soeharto lebih sering mengurung diri di Cendana. Dia enggan bertemu meski petinggi militer dan kerabat berusaha bertamu. Soeharto mengumpulkan keluarga Cendana di Puri Retno, Anyer, Banten, pada Juli 1998.
Usai makan di pinggir pantai, Soeharto meminta anak-anak, menantu, dan cucunya menerima kondisi pahit dan berusaha tabah melaluinya. Menurut Soeharto, ini adalah konsekuensi usai dirinya mundur dari jabatan presiden. Mundur bukan berarti hujatan mereda, justru sebaliknya. Dia meminta anak-anaknya tak menanggapi kondisi itu.
“Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan ikhlas. Mudah-mudahan ini mengurangi beban saya di akhirat,” kata Soeharto.
Pilihan Editor: Rangkaian Gerakan Reformasi Mei 1998 hingga Soeharto Lengser
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.