TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Presiden Joko Widodo untuk menempuh jalur dialog dalam upaya pembebasan pilot Susi Air, Philip Mark Marthens. Koalisi ini mendesak pemerintah untuk menghentikan operasi militer dalam upaya pembebasan tersebut maupun dalam penanganan konflik di Papua lainnya.
“Presiden dan DPR RI harus menghentikan operasi tempur dan pendekatan militeristik lainnya untuk menangani situasi keamanan di Papua,” kata perwakilan koalisi dari Papua Itu Kita, Michael Himan lewat keterangan tertulis, pada Selasa, 18 April 2023.
Selain Papua Itu Kita, koalisi juga diisi oleh organisasi lainnya, seperti Imparsial, Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), YLBHI, KontraS dan Walhi. Himan mengatakan tewasnya seorang prajurit dalam upaya pembebasan Philip menjadi bukti tidak efektifnya pendekatan militeristik untuk menangani situasi keamanan di Papua.
Seorang prajurit tewas
Prajurit yang tewas itu adalah Pratu Miftahul Arifin. Miftahul tewas akibat serangan Kelompok Kriminal Bersenjata di Distrik Mugi-Mam, Nduga, Papua pada 15 April 2023. Saat itu, satuan tugas dari Batalyon Infanteri Raider 321/Galuh Taruna tengah berpatroli untuk membebaskan Philip yang dikabarkan berada di Distri Mugi-Mam.
Himan mengatakan peristiwa baku tembak yang menewaskan prajurit itu harus menjadi pelajaran bagi Presiden dan DPR untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua.
“Kejadian ini bukanlah satu-satunya peristiwa. Sebelumnya Kapolri juga merilis data sebanyak 22 Prajurit TNI-Polri telah gugur dari tahun 2022 hingga sekarang,” kata Himan.
Perwakilan koalisi dari Imparsial Hussein Ahmad mengatakan pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dilakukan di Papua telah berdampak langsung terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM kepada masyarakat. Beberapa kasus yang tercatat adalah pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani pada 2020 dan pembunuhan, serta penyiksaan lainnya.
Hussein berpandangan evaluasi pendekatan keamanan yang militeristik harus dimulai segera dengan melakukan menata ulang jumlah pasukan yang ditempatkan di Papua. Dia menduga dari waktu ke waktu jumlah pasukan yang ditempatkan di bumi Cenderawasih itu terus bertambah.
“Selama ini, ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua,” kata dia.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Imparsial, jumlah prajurit TNI di Papua berjumlah sekitar 16.900 personel. Jumlah tersebut berasal dari prajurit organik, yakni 13.900 orang dan non-organik sebanyak 3.000 orang. “Jika dilihat latar belakang satuannya, sebagian besar yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur,” kata dia.
Minta adanya dialog
Hussein berkata sudah saatnya Presiden Jokowi dan DPR merealisasikan agenda dialog dalam penyelesaian masalah Papua, bukannya menggunakan pendekatan militer. Penggunaan pendekatan yang eksesif dan koersif, kata dia, hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM.
Menurut dia, pemerintah memiliki modal dan pengalaman dalam menyelesaikan konflik melalui jalur damai. Sejumlah konflik, kata dia, berhasil didamaikan melalui dialog di antaranya, konflik Aceh, Poso dan Ambon. “Pengalaman penyelesaian konflik Aceh, Poso dan Ambon semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian konflik Papua,” kata dia.
Pilihan Editor: Papua Siaga Tempur, Selandia Baru 'Melakukan Segalanya' Pastikan Keselamatan Pilot