Densus 88 Berawal dari Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme
Pembentukan Densus 88 dimulai dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme untuk mengatasi kasus teror bom yang banyak terjadi. Instruksi ini dilanjutkan dengan penerbitan Paket Kebijakan Nasional untuk Pemberantasan Terorisme melalui Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 1 dan 2 Tahun 2002.
Menurut Muradi, seorang pengamat kepolisian dari Universitas Padjajaran, dalam bukunya "Densus 88 AT: Konflik, Teror, dan Politik", Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme pada tahun 2002 sebagai respons terhadap perintah Instruksi Presiden. Desk ini terdiri dari Detasemen C Resimen IV Gegana Brimob Polri dan tiga organisasi anti-teror TNI serta intelijen.
Semua institusi tersebut kemudian bergabung menjadi Satuan Tugas Anti-Teror yang dikoordinasikan oleh Departemen Pertahanan. Namun, Menteri Pertahanan saat itu, Matori Abdul Jalil, dianggap tidak mampu mengkoordinasikan institusi-institusi tersebut. Menurut Muradi, "Masing-masing kesatuan anti-teror lebih suka berkoordinasi dengan organisasi yang memimpin mereka," tulis Muradi.
Koordinasi yang tidak efektif ini menyebabkan serangan teror di Indonesia tidak mengalami penurunan. Oleh karena itu, kepolisian memutuskan untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri yang beroperasi di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) dan dipimpin oleh seorang perwira polisi bintang satu. Salah satu tugas utama Satgas Bom Polri adalah menangani kasus Bom Natal pada tahun 2001 dan kasus bom lainnya di beberapa daerah seperti Sukabumi, Bandung, Kudus, dan Mojokerto.