Desakan agar RUU Perampasan Aset disahkan semakin kencang setelah mencuatnya kasus kekayaan tidak wajar sejumlah Aparat Sipil Negara (ASN) di Kementerian Keuangan. Misalnya, kasus harta jumbo mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo.
Dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dia serahkan ke KPK, Rafael mengaku memiliki harta dengan nilai sekitar Rp 56 miliar. Hal itu dianggap tak wajar karena dia hanya menggenggam jabatan setingkat Eselon III.
Apalagi belakangan Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan telah menyerahkan laporan hasil analisa (LHA) transaksi mencurigakan Rafael Alun sejak 2012 ke aparat penegak hukum. PPATK juga mengungkapkan adanya mutasi senilai total Rp 500 miliar di 40 rekening terkait Rafael.
Setelah itu muncul pula soal harta kekayaan milik Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pihaknya telah mengantongi 29 nama pegawai yang dinilai memiliki harta kekayaan tidak wajar, termasuk Rafael Alun dan Eko. Mereka kini tengah dalam proses pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
Partai Solidaritas Indonesia atau PSI menyatakan RUU Perampasan Aset bisa mempercepat penyelesaian kasus seperti Rafael Alun dan Eko Darmanto. Pasalnya, RUU itu dianggap bisa mengisi kekosongan hukum terkait non-conviction based asset forfeiture atau perampasan aset tanpa pemidanaan.