INFO NASIONAL - Pemerintah pusat dan daerah patut meningkatkan sinergi dan selektif memberikan pelayanan perizinan berusaha dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil, termasuk di kawasan hutan yang berhimpitan dengan kepentingan ekologi, ekonomi dan kedaulatan Indonesia.
Semua pihak patut belajar dari kasus viral penjualan Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan pada akhir 2022. Pulau tersebut merupakan satu dari 83 gugusan pulau di Provinsi Maluku Utara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 79 pulau berstatus kawasan hutan, dan 4 pulau area penggunaan lainnya (APL).
Untuk diketahui, luas keseluruhan 17.504 pulau-pulau kecil di Indonesia yang termasuk kawasan hutan kurang dari 1 persen luas wilayah daratan Indonesia yang mencapai 1,9 juta kilometer persegi. Sedangkan total luas kawasan hutan Indonesia lebih dari 125 juta hektare.
Jika penerbitan perizinan pemanfaatan pulau-pulau kecil termasuk di kawasan hutan tidak menjaga ekologi akan berdampak pada kesehatan laut seluas 77 persen wilayah perairan pesisir dan laut Indonesia termasuk ZEE (6,4 juta kilometer persegi), yang merupakan satu kesatuan ekosistem tidak terpisahkan.
Kegiatan pertambangan, kerja sama investasi, maupun kegiatan eksploitasi lainnya di pulau-pulau kecil yang bersifat khas, rentan, dengan daya dukung dan daya tampung terbatas berpotensi merusak lingkungan, meresahkan masyarakat setempat serta dapat mengusik rasa kebangsaan.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil pada pasal 35 secara tegas mengamanatkan kegiatan penambangan yang merusak lingkungan dilarang dilakukan di pulau-pulau kecil. Terkait kerjasama investasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka PMA (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 pasal 26 A), perizinannya oleh Menteri Kelautan Dan Perikanan.
Rekomendasi Sebagai Prasyarat Perizinan Dasar
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, mengatur persyaratan dasar perizinan berusaha, yang meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR), persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi.
Adapun, Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) merupakan tahapan awal perijinan berusaha dalam pemanfaatan pulau. Sedangkan perizinan pemanfaatan pulau-pulau kecil termasuk perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha (PB-UMKU).
Namun demikian, jika proses verifikasi teknis tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung pulau, serta alokasi pemanfaatan ruang pulau belum terakomodir dalam RTRW/RDTR daerah, maka rekomendasi atau persetujuan perizinan berusaha untuk memenuhi kegiatan usaha (PB-UMKU) dipastikan belum dapat diterbitkan. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian investasi.
Untuk menjamin kepastian investasi, kementrian/lembaga dan pemda perlu mengkoordinasikan kewenangan pemanfaatan pulau dalam bentuk rekomendasi sebagai prasyarat diterbitkannya persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR), maupun prasyarat dalam perizinan lingkungan, serta prasyarat kerjasama investasi penanaman modal asing (PMA) yang diinisiasi oleh pemda.
Rekomendasi bertujuan untuk menapis dan memastikan pemanfaatan pulau dilakukan secara berkelanjutan sesuai pengaturan jenis-jenis kegiatan pemanfaatan pulau yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan menurut luasan, tipologi dan topografi pulau.
Sejalan dengan itu, Menkopolhukam menegaskan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil di Pulau Widi harus seizin Menteri Kelautan Dan Perikanan, walaupun objeknya terdapat kawasan hutan sekitar 1.900 hektar. Kebijakan ini hendaknya menjadi rujukan dalam menyelaraskan kewenangan pemanfaatan pulau yang tersebar pada lintas instansi.
Seiring dengan pelaksanaan pelayanan perizinan, maka rekomendasi sebagai prasyarat perizinan dasar dapat disepakati melalui surat keputusan bersama (SKB) antar pihak, sekaligus mendorong penguatan dan revisi turunan Undang-Undang Cipta Kerja, yang menegaskan bahwa setiap pemanfaatan pulau-pulau kecil harus mendapat rekomendasi dari menteri yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan.
Rekomendasi yang diterbitkan hendaknya tidak membebani pelaku usaha, sehingga kementrian/lembaga dan pemda yang memiliki kewenangan memanfaatkan pulau agar mengurangi ego sektor dengan menyelaraskan bisnis proses perizinan.
Penyatuan ataupun pengurangan jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada proses bisnis yang sama, serta menanamkan kriteria pemanfaatan pulau yang boleh dan tidak boleh kedalam sistem online single submission (OSS) sebagai alat penapis, akan menjaga dan mendorong minat investasi.
Melalui koordinasi, penyelarasan kewenangan dan kesepakatan bersama antar pihak di pusat maupun dengan pemerintah daerah, disertai penguatan dan revisi peraturan perundang-undangan diharapkan dapat mendorong investasi pemanfaatan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, lestari dan berdaulat. (*)
Rido Miduk Sugandi Batubara, (Ahli Madya Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP), Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementrian Kelautan Dan Perikanan).