TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II Fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS Mardani Ali Sera membeberkan sejumlah poin dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau dikenal Perpu Cipta Kerja yang merugikan buruh. PKS menjadi salah satu partai yang menolak disahkannya Perpu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja di DPR RI.
"Kalau dicermati secara seksama, pelemahan atas posisi buruh di Perpu Cipta Kerja dapat ditemukan di antaranya tereduksi besaran kompensasi PHK, diperluas dan dipermudahnya PHK, outsourcing (alih daya) yang tidak dibatasi," ujar Mardani saaf dihubungi Tempo, Jumat, 17 Februari 2023.
Selain itu, Mardani menyebut Perpu Cipta Kerja juga membuat sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) alias sistem kontrak menjadi diperluas dan diperpanjang. Lalu dipermudahnya tenaga kerja asing, politik hukum upah murah, dihilangkannya kewajiban upah sektoral, diperlemahnya posisi dewan pengupahan, hingga diperlemahnya eksistensi Serikat Pekerja atau Serikat Buruh atau mitra perusahaan untuk membuat perjanjian kerja bersama.
Menurut Mardani, seluruh hal tersebut dapat merugikan buruh sehingga PKS menyatakan menolak pengesahan Perpu tersebut.
"Konsistensi PKS dalam melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap buruh terus dihadirkan, karena bagi PKS pembelaan terhadap buruh/pihak lemah merupakan perjuangan ideologis dan konstitusi yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat," kata Mardani.
Demokrat menilai pemerintah tak mematuhi perintah MK
Sebelumnya, DPR RI telah Perpu Cipta Kerja dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Keputusan itu diambil dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Rabu, 15 Februari 2023.
Dari 9 fraksi DPR, sebanyak 7 fraksi setuju dan 2 fraksi menolak Perpu tersebut. Penolakan ini berasal dari Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). DPD RI turut menyatakan penolakannya terhadap Perpu ini.
Dalam pandangannya, Fraksi Partai Demokrat menilai penerbitan Perpu tersebut merupakan bentuk pembangkangan Presiden Jokowi atas putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya telah membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja.
Padahal, dalam putusan MK tersebut, pemerintah diminta untuk memperbaiki sisi formil maupun materil dari undang-undang tersebut. Alih-alih memperbaiki, dia menyebut pemerintah malah menerbitkan Perpu.
“Bahkan tidak tampak perbedaan signifikan antara isi Perpu dengan materi UU sebelumnya. Artinya, keluarnya Perpu Ciptaker kelanjutan proses legislasi yang tidak partisipatif,” kata Santoso dalam rapat.
Selain itu, Santoso menyoroti argumentasi pemerintah yang menyatakan ada kegentingan memaksa sehingga Perpu Cipta Kerja perlu diterbitkan. Menurut dia, argumen pemerintah tidak rasional.
“Kita perlu bertanya, apakah Perpu Ciptaker ini hadir karena kegentingan memaksa atau kepentingan penguasa?,” kata dia.
Perpu Cipta Kerja memang merupakan bentuk lain dari UU Cipta Kerja yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu. Saat itu, MK menyatakan UU Cipta Kerja inskonstitusional terbatas. Pemerintah pun diberi waktu dua tahun untuk memperbaiki Perpu itu.
Tak hanya DPR, Perpu Cipta Kerja pun memicu penolakan dari kalangan buruh. Partai Buruh menyatakan mereka telah mengorganisir berbagai serikat pekerja untuk melakukan mogok massal secara nasional jika DPR dan Pemerintah tetap ngotot mengesahkannya menjadi undang-undang.
M JULNIS FIRMANSYAH I IMA DINI SHAFIRA