Miko mengatakan, andai pun seleksi diulang kembali, maka KY akan melanggar undang-undang karena batas waktu seleksi maksimal enam bulan.
“Dengan demikian, apakah ada jaminan calon yang potensial sesuai harapan organisasi masyarakat sipil akan didapatkan?” ujarnya.
Ia menuturkan berbagai persoalan yang menyebabkan minimnya calon untuk mendaftar sementara perkara sudah diajukan ke tingkat Kasasi, maka KY mesti memutuskan untuk memilih calon yang terbaik dari yang ada.
“Jika tidak demikian, maka kepastian dan keadilan bagi korban akan tertunda,” kata Miko.
Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil
Sebelumnya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan atau KontraS Fatia Maulidiyanti menyoroti para hakim ad hoc Hak Asasi Manusia Mahkamah Agung yang minim pengetahuan soal HAM.
Pertama, Fatia mengatakan beberapa calon yang diwawancara oleh Komisi Yudisial masih ada yang belum memahami undang-undang yang mengatur pelanggaran HAM dengan baik. Misalnya saja, kata dia, masih ada calon hakim masih belum memahami perbedaan mendasar antara pelanggaran yang dirumuskan dalam UU HAM dengan Pelanggaran HAM Berat yang dirumuskan dalam UU Pengadilan HAM.
“Bahkan, salah seorang calon juga tidak bisa menjelaskan dengan baik unsur utama kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu “meluas” dan “sistematis,” kata Fatia pada Sabtu 4 Februari 2023.
Selain itu, Fatia menyebut masih ada calon yang tidak memahami mekanisme kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM. Bahkan, kata dia, alasannya sangat tidak masuk akal yakni belum membaca mengenai regulasi yang mengatur.
“Tentu ini akan berbahaya bagi Pengadilan HAM mengingat para calon jika terpilih akan diberi tugas mengadili kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai pada tingkat kasasi,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Berikutnya, Fatia menyoroti masih banyaknya calon hakim ad hoc yang meyakini pelanggaran HAM bisa diselesaikan secara non-yudisial. Selain itu, dia mengatakan beberapa calon juga tidak mengetahui pengetahuan mendasar mengenai HAM seperti Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan alasan belum membaca.
Perihal seleksi, Miko mengatakan pada awalnya hanya empat calon yang mendaftar, lalu KY membuka perpanjangan dan mendapat 15 pendaftar. Setelah seleksi administrasi, hanya 13 pendaftar yang lulus dan dari 13 pendaftar tersebut ada 3 calon yang mengundurkan diri. Dari 10 calon, pada tahap seleksi kualitas hanya enam calon yang dinyatakan lulus ke tahap berikutnya, yaitu seleksi kesehatan, kepribadian, dan penelusuran rekam jejak. Selanjutnya, hanya 5 calon yang dinyatakan lolos untuk mengikuti tahap wawancara.
Sementara di sisi lain, KY dibatasi oleh jangka waktu pelaksanaan seleksi calon hakim ad hoc HAM menurut undang-undang, yaitu maksimal 6 bulan. Terlebih pengajuan Kasasi sudah dilakukan oleh Kejaksaan ke Mahkamah Agung terhadap putusan tingkat pertama perkara Paniai di mana Terdakwa diputus bebas dari tuntutan.
“Oleh karena itu, guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi korban, tidak ada pilihan selain menyediakan hakim pada tingkat Kasasi melalui seleksi oleh KY,” kata Miko.
EKA YUDHA SAPUTRA | MIRZA BAGASKARA