JAKARTA - Ahli Teknologi Polimer Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Kepala Center for Sustainability and Waste Management, Mochamad Chalid mengingatkan penggunaan kemasan polikarbonat untuk air minum dalam kemasan di masyarakat yang sudah masuk ke ranah yang tidak aman. Ada beberapa poin yang memicu peluruhan zat Bisphenol A atau BPA pada kemasan polikarbonat ke dalam air yang kemudian dikonsumsi.
"Kondisi-kondisi yang membuat kemasan polikarbonat tidak aman apabila berisi air dan terpapar suhu tinggi dalam waktu tertentu," kata Chalid. "Ketika polikarbonat bertemu dengan air dalam suhu tinggi dan durasi tertentu, maka dia akan mengalami pemotongan atau pelepasan BPA karena ada air tadi atau yang disebut dengan hidrolisis."
Mochamad Chalid lantas merunut peristiwa bagaimana bahan polikarbonat diolah menjadi kemasan dan pada titik mana berpotensi membahayakan kesehatan. Pertama, dari produsen yang mengolah polikarbonat sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan kemasan air minum bernama galon. Galon berbahan polikarbonat tersebut diisi dengan air.
Kedua, masuk ke tahap distribusi di mana air dalam kemasan galon polikarbonat tadi diantar sampai ke konsumen. "Selama proses transportasi itu, rentan terjadi kenaikan suhu dalam waktu tertentu tadi," kata Chalid. Contoh, apabila kemasan masuk ke dalam truk, terpapar panas mesin kendaraan dan panas matahari, dan sebagainya. Dan proses distribusi tadi tentua memakan waktu tertentu. Rangkaian kejadian ini, menurut Chalid, rentan memincu hidrolisis yan menghasilkan lepasan BPA.
Ketiga, ketiga produk tersebut sampai di tangan konsumen. Bisa jadi, konsumen tersebut menggunakan galon berbahan polikarbonat ini sesuai standar, yakni terlindung dari suhu tinggi. Namun demikian, persoalan berikutnya berpotensi terjadi ketiga konsumen memanfaatkan galon tadi untuk isi ulang. Terlebih apabila di tempat isi ulang, galon tersebut disikat dan dikeringkan. "Kalau sampai galon disikat, itu berbahaya. Secara mekanis akan mempermudah lepasan BPA," kata Chalid.
Mengenai pengisian berulang pada galon polikarbonat, dia melanjutkan, tidak ada yang dapat memastikan seperti apa batas yang aman. Pada umumnya, galon tersebut akan terus diisi ulang dengan air selama secara kasat mata masih berfungsi dengan baik atau tidak bocor atau pecah. "Padahal, pengulangan-pengulangan perlakuan saat isi ulang, seperti dibersihkan, diisi, kepanasan, dan seterusnya, itu risikonya jauh lebih dahsyat," ucapnya.
Keempat, tentang galon polikarbonat yang sudah pecah, bocor, atau tidak terpakai lagi. Galon yang sudah tidak terpakai tadi akan dikumpulkan dan dicacah atau proses crushing. "Setelah dicacah, seandainya campuran yang disebut dengan regrain (hasil cacahan limbah polikarbonat) itu dicampur lagi dengan bahan baku polikarbonat yang masih baru dengan komposisi tertentu, maka lebih berbahaya lagi," ujar Chalid. "Penggunaan regrain sedapat mungkin tidak dilakukan karena ini untuk kemasan air minum."
Pemerintah sudah melakukan pendekatan dan pengamatan tentang lepasan BPA pada kemasan air minum berbahan polikarbonat. Sebagai bagian dari institusi pendidikan dan penelitian, Chalid melanjutkan, akan membantu mencarikan solusi tentang bahaya pelepasan BPA ini. Penting juga masyarakat mengetahui dan memahami bahaya BPA untuk kesehatan. Sebab dalam jangka panjang, konsumen yang menjadi korban apabila tidak dilakukan penelaahan atau kajian tentang bahaya BPA.
Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM menyampaikan risiko kesehatan karena terpapar BPA antara lain, gangguan sistem reproduksi baik pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, gangguan perkembangan kesehatan mental, dan autism spectrum disorder (ASD). Sebanyak 96,4 persen dari produk air minum dalam kemasan (AMDK) galon menggunakan bahan polikarbonat. (*)