TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Ester Kaban menilai saat ini belum ada formula yang tepat dalam memberantas korupsi di Mahkamah Agung (MA). Sebab, kata dia, permasalahan menyangkut lembaga peradilan bisa dikatakan memiliki kompleksitas yang rumit.
MA tak punya lembaga pengawasan yang setara
Ester mengatakan permasalahan pertama adalah MA bisa dikatakan tidak memiliki lembaga pengawas yang sepadan. Ia mengatakan Komisi Yudisial (KY) sebagai eksternal yang bertugas mengawasi Mahkamah Agung memiliki kewenangan yang terbatas.
“KY ini secara undang-undang juga kewenangannya terbatas, hanya pada soal etika, perilaku, serta tidak mampu mengawasi atas teknis yudisialnya,” kata Ester pada Jum’at 6 Januari 2023.
Masalah kedua yang ditemukan ICW adalah MA saat ini hanya mengandalkan pengawasan dari pihak internalnya saja. Padahal, kata Ester, pengawasan merupakan satu-satunya cara yang paling realistis untuk memperbaiki MA saat ini.
“Kasus pidana yang menjerat pegawai Mahkamah Agung saat ini sih, saya selalu memandang hal-hal besar ini berawal dari pembiaran terhadap hal-hal kecil di dalam lembaga tersebut,” ujar dia.
Suap di lembaga peradilan memiliki pola yang sama
Pegiat antikorupsi Indonesia Memanggil 57 + Institute atau IM57+ Harun Al Rasyid menyebut ada berbagai macam bentuk tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung. Namun, kata dia, dari berbagai bentuk tersebut sejatinya wujud praktik suap di lembaga peradilan memiliki pola yang sama.
“Kalau dari sepengalaman saya, praktik suap di Mahkamah Agung atau lembaga peradilan lainnya masih menggunakan transaksi menyerahkan uang secara langsung,” ujar Harun saat ditemui Tempo di daerah Jakarta Selatan.
Harun yang merupakan mantan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencontohkan pengalamannya menyelidiki kasus tindak pidana pencucian uang yang melibatkan bekas sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Dia mengatakan yang menjadi pembeda dari setiap kasus di lembaga peradilan yang pernah dia tangani adalah jumlah orang yang terlibat dalam perkara suap.
“Terkhusus Nurhadi ini dia agak cerdas modusnya. Jadi uang suapnya dia alirkan dana kepada kerabatnya, jadi memberdayakan sanak keluarga,” ujar dia.
Syahdan, Harun melanjutkan pasca dikucurkan dana suap kepada keluarganya, kerabat Nurhadi tersebut kemudian memutarkan uang suap yang diberikan tersebut. Ia menyebut salah satunya adalah uang yang dialirkan kepada bisnis showroom mobil sang anak, Rizqi Aulia Rahmi.
“Jadi menggunakan uang suap, pura-pura membeli mobil seharga Rp.3 miliar dengan jumlah Rp.5 miliar. Jadi, yang membedakan hanya seberapa banyak layernya saja,” ujarnya.
KPK bongkar jaringan mafia peradilan di MA
Fenomena gurita suap di Mahkamah Agung yang belakangan terungkap bermula dari penetapan tersangka hakim agung Sudrajad Dimyati terkait pengurusan perkara koperasi simpan pinjam Intidana. Ia ditetapkan tersangka oleh KPK pada 4 Oktober 2022 lalu bersama sembilan orang lain yang merupakan pegawai Mahkamah Agung dan pihak swasta.
Tak lama berselang, hakim agung yang lain, Gazalba Saleh ditahan oleh KPK pada 8 Desember silam terkait dugaan pengurusan perkara yang sama dengan Sudrajad Dimyati. Gazalba disebut-sebut menerima uang suap Rp. 400 juta untuk menjatuhkan vonis pidana sesuai keinginan pemberi suap di perkara Intidana tersebut.
Pada 19 Desember 2022, KPK kembali melakukan penahanan terhadap anggota Mahkamah Agung terkait dugaan suap pengurusan perkara lagi. Kali ini, KPK menetapkan Edy Wibowo hakim yustisial MA sebagai tersangka kasus suap pengurusan perkara Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar.
Perihal kasus suap tersebut, Harun meminta KPK jangan mengusut kasus tersebut setengah-setengah dan harus mengusut hingga tuntas. Sebab, kata dia, kedudukan mulia Mahkamah Agung dalam lembaga peradilan menjadikannya benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia.
“Dan saya berharap semoga KPK yang menangani kasus ini harus benar-benar bebas dari kepentingan dan pretensi apapun agar jangan sampai ada kesan KPK mentarget seseorang atau kelompok tertentu,” ucap Harun.