TEMPO.CO, Jakarta - Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi atau Satgassus Pencegahan Korupsi menemukan sejumlah permasalahan sepanjang 2022 setelah melakukan pendeteksian di kementerian dan lembaga. Wakil Kepala Satgassus Novel Baswedan mengatakan ada lima temuan permasalahan selama 2022, di antaranya dalam pencegahan korupsi dalam distribusi program pupuk bersubsidi.
Masalah dalam program pupuk bersubsidi
Novel mengatakan masih banyak ditemukan penerima ganda Pupuk Bersubsidi yang dituangkan dalam e-RDKK. Kemudian belum optimalnya penggunaan Kartu Tani, baik dari sisi distribusinya dan sarana prasarananya.
“Belum optimalnya pendataaan penerima Pupuk Bersubsidi dan pengawasan distribusi Pupuk Bersubsidi oleh Pemerintah Daerah dan masih ditemukan Pupuk Bersubsidi yang diduga kualitasnya di bawah standar,” kata Novel dalam keterangan resminya, Sabtu, 31 Desember 2022.
Masalah dalam program Pinjaman PEN untuk daerah
Dalam pencegahan korupsi program Pinjaman Pemulihan Eekonomi Nasional (PEN) untuk daerah pada sektor infrastruktur, Satgas menemukan 3 Pemerintah Daerah yang gagal mendapatkan Pinjaman PEN karena belum memenuhi persyaratan sampai dengan bulan September 2022. Alhasil, tidak lagi memungkinkan untuk melaksanakan proyek sesuai perencanaan pada tahun berjalan.
“Di beberapa daerah ditemukan keterlambatan dalam realisasi penggunaan Pinjaman
PEN untuk Daerah. Juga belum optimalnya pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang pembiayaannya berasal dari fasilitas Pinjaman PEN untuk Daerah,” ujar Novel.
Bantuan Langsung Tunai Dana Desa dinilai bermasalah
Satgassus Pencegahan korupsi juga menemukan masalah dalam Penyaluran Bantuan Langsung Tunai Dana Desa atau BLT Dana Desa. Misalnya soal terdapat perbedaan penerapan cara pendataan, mulai dari pendata calon Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BLT Dana Desa yang berbeda-beda untuk setiap desa, kriteria yang beragam yang digunakan oleh desa dalam pemilihan calon KPM.
Selain itu, tidak semua desa menggunakan kertas kerja sebagai acuan atau tidak terdokumentasikannya dengan baik kertas kerja pendataan, dan dapat menyebabkan potensi pemilihan penerima bantuan yang kurang transparan dan akuntabel.
“Lalu masih ditemukannya penyerapan rendah di sebagian desa pada penyaluran tahap I dan II, disebabkan adanya perubahan sistem dari tunai menjadi non-tunai,” ujar Novel.
Namun demikian, perubahan data penerima bantuan sosial Kemensos dari DTKS sebagai bahan verifikasi penerima BLT Dana Desa yang datang belakangan, juga mempengaruhi penyerapan karena tidak diperbolehkan penerima BLT Dana Desa ganda dengan bantuan sosial lainnya.
“Meski demikian Satgas tidak menemukan adanya kasus pemotongan BLT-DD bagi masyarakat,” ujar Novel.
Namun demikian, tidak adanya biaya operasional dalam penyaluran tunai, dapat berpotensi terjadinya pemotongan terhadap BLT-DD yang diterima masyarakat tersebut.
Meskipun belum pernah ditemukan tindak kejahatan terhadap proses pengambilan dana BLT-DD, kata Novel, kondisi geografis dan jarak antara desa dengan bank penyalur dapat menjadi potensi kerawanan terjadinya tindak pidana dalam proses pengambilan dana tunai BLT-DD tersebut.
Selanjutnya masalah dalam pengelolaan jaminan reklamasi pasca tambang dengan nilai triliunan rupiah