Langkah polisi hanya menjerat Ismail Bolong dengan masalah tambang ilegal mendapatkan cibiran dari berbagai pihak. Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah misalnya, menilai banyak tindak pidana lain dalam perkara ini. Misalnya soal tindak pidana pencucian uang hingga dugaan adanya suap kepada sejumlah anggota Polri.
Dia pun menilai, polisi sengaja melokalisasi kasus ini ke soal tambang ilegal karena adanya dugaan aliran dana ke para anggotanya.
"Kalau soal teknis penyelidikan, penerapan pasal pencucian uang memang bisa jadi pertimbangan. Tapi jauh lebih penting mengejar dugaan korupsinya, dalam hal ini dugaan suap dan gratifikasinya. Delik korupsi ini yang bisa membongkar keterlibatan aparat kepolisian terutama petinggi polri yang diduga menikmati hasil kejahatan bisnis tambang ilegal," kata Herdiansyah lewat pesan tertulis Senin 26 Desember 2022.
"Ini kejanggalan yang membuat publik heran. Jangan sampai kasus ini hanya mentok di Ismail Bolong tanpa menyasar aparat kepolisian yang diduga kuat terlibat dalam bisnis haram ini. Jadi seharusnya tidak hanya menyeret Ismail Bolong sebagai pelaku di lapangan, tapi juga mesti menyasar mereka-mereka yang menikmati hasilnya," tuturnya.
Dugaan adanya perlindungan dari aparat terhadap aktivitas tambang ilegal mencuat sejak awal November lalu. Saat itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengadakan diskusi bertajuk 'Persekongkolan Geng Tambang di Polisi dengan Oligarki Tambang.'
Dalam diskusi itulah pertama kalinya video pengakuan Ismail Bolong diputar. Akan tetapi pemutaran video itu sempat mengalami pembajakan dari pihak yang tak diketahui.
Dalam video yang kemudian viral di dunia maya itu, Ismail mengakui memberikan uang bernilai miliaran rupiah kepada sejumlah petinggi Polri. Diantaranya adalah Kabareskrim Komjen Agus Andrianto.
Belakangan, Ismail Bolong membantah keterangan dalam video itu. Dia menyatakan video itu dibuat saat dirinya diperiksa oleh Dvisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Dia mengaku dipaksa membaca teks yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh seorang perwira.
Dokumen LHP Divpropam sebut aliran dana ke perwira Polri
Tak lama setelah video itu viral, muncul dua dokumen laporan hasil penyelidikan yang dikeluarkan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Dua dokumen itu ditandatangani oleh mantan Kepala Biro Pengamanan Internal Polri, Brigjen Hendra Kurniawan, dan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo. Keduanya kini menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Dalam laporan tersebut, Sambo cs menyebut telah menemukan bukti yang kuat terkait adanya pembiaran aktivitas tambang ilegal yang dilakukan oleh Ismail Bolong. Sambo juga memperinci aliran dana kepada sejumlah perwira tersebut.
Hendra Kurniawan membantah adanya tekanan dalam pemeriksaan terhadap Ismail Bolong. Melalui pengacaranya, Henry Yosodiningrat, dia menyatakan video itu dibuat untuk menguatkan tudingan adanya keterlibatan sejumlah perwira dan anggota Polri lainnya.
Kabareskrim Komjen Agus Andrianto pun membantah menerima aliran dana Ismail Bolong seperti tertuang dalam dokumen yang ditandatangani Sambo dan Hendra. Dia justru balik menuding Sambo dan Hendra menerima uang dari Ismail karena tak langsung menangkapnya.
ALFITRIA NEFI PRATIWI