TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggagas Muktamar Internasional Fikih Peradaban I pada awal Februari 2023. Muktamar ini merupakan rangkaian acara peringatan satu abad Nahdlatul Ulama (NU).
"Meskipun ini istilah yang asing, bahkan tidak dikenal dalam dunia Islam, tetapi Muktamar Internasional Fikih banyak digunakan di Indonesia. NU pun menunjuk wacana keagamaan dalam berbagai masalah yang berkembang di masyarakat," kata Ketua Umum PBNU KH, Yahya Cholil Staquf dihadapan sejumlah diplomat negara-negara Islam dan negara sahabat di Jakarta pada Kamis, 15 Desember 2022 malam.
Menurut Gus Yahya, sampai sekarang masih dibayangi konflik identitas dan permasalahan yang mengatasnamakan agama. Konflik seperti ini memang bukanlah hal baru di lingkungan masyarakat, melainkan sudah terjadi sangat lama, bahkan sudah mulai berakar. Padahal, dunia sudah memiliki sebuah kesepakatan besar, yaitu Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sayangnya, hal-hal yang telah disepakati secara internasional dalam piagam tersebut tidak serta-merta dapat diterapkan secara domestik oleh negara-negara anggota PBB.
Baca: NU DKI Protes Heru Budi Dana Hibah Cuma Rp 4 Miliar Sebelumnya Rp 5 Miliar, MUI Rp 15 Miliar
Dinamika percaturan antara aktor-aktor global pun tidak secara konsisten mengarah pada pemapanan dan penguatan kesepakatan-kesepakatan dalam piagam tersebut. Dengan kata lain, visi dari Piagam PBB dan Organisasi PBB masih harus diperjuangkan oleh mereka yang sungguh-sungguh menyetujui dan mempercayai bahwa dinamika positif memiliki kemungkinan untuk terwujud.
Kelompok-kelompok Muslim yang terlibat konflik dengan kekerasan sampai teror mempertahankan posisi mereka dengan mengajukan rujukan-rujukan dalam turats fikih. Hingga satu abad lalu, konflik dan peperangan yang mengatasnamakan agama masih dianggap normal. Kondisi ini bukan sesuatu yang eksklusif mengenai Islam saja. Umumnya, pihak-pihak di luar Islam pun meneguhi pola sikap dan tindakan yang didasarkan pada asumsi bahwa perlawanan atas nama agama terhadap pihak lain adalah tuntutan moral. Atas dasar ini, dalam muktamar nanti peserta akan meminta fatwa berlandaskan status legal Piagam PBB.
"Sejauh mana keabsahan Piagam PBB dan Organisasi PBB dengan mempertimbangkan alasan, proses, dan mekanisme serta tujuan kelahirannya menjadi perjanjian (‘ahd) yang mengikat umat Islam seluruh dunia. Selain itu, muktamar ini juga lahir atas dasar keabsahan pihak-pihak negara dan para kepala negara yang mengklaim posisi sebagai wakil-wakil mereka (umat Islam) ketika menyepakati Piagam PBB," kata Gus Yahya.
Para ulama ahli fikih, kata Gus Yahya, juga perlu memberikan jawaban atas satu pertanyaan mendasar tersebut. Sebab, gagasan Muktamar Internasional Fikih itu merupakan bagian dari NU untuk berkontribusi dalam perdamaian dunia internasional.
"Ini awalan dari inisiatif strategis yang diusung oleh NU dalam membangun peradaban dunia," ujar Gus Yahya, dalam rilis yang dikirimkan PBNU.
Muktamar ini akan dihadiri sejumlah tokoh dunia, seperti Syaikh Dr. Ahmad Al-Thayib (grand Syaikh Al Azhar dari Mesir), Syaikh Abdullah bin Mahfudh Ibn-Bayyah (Majelis Hukana Al amuslimin dari UAE), Al Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al Jufri (Direktur El Taba Institute, UAE); Eslam Sa'ad (Peneliti Islam Kontemporer dari Mesir); Dr. Syafiq Ibrahim Allam (Grand Mufti dari Mesir), dan Prof. Koutoub Moustapha Kano (Sekjen Council of Islamic Fiqh dari Afrika).
Sementara itu, dari Indonesia yang akan menjadi pembicara adalah Prof Dr. KH Quraish Shihab, KH Miftachul Akhyar (Rais aam PBNU), KH ma'ruf amin (wakil presiden), KH Afifuddin Muhajir (wakil Rais aam PBNU), dan KH Ahmad Mustofa Bisri (mustasyar PBNU).
RACHEL FARAHDIBA R
Baca juga: Forum Agama G20 di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ketua PBNU: Hidup Rukun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.