TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menyatakan pihaknya belum menerima laporan soal kasus suap tambang ilegal Ismail Bolong. Dia pun menyatakan lembaganya belum memproses aduan tersebut.
"Saya dan teman-teman pimpinan, belum ada di meja saya laporan terkait hal itu," kata Johanis dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis, 8 Desember 2022. .
Namun, Johanis menjelaskan, pada dasarnya KPK akan menindaklanjuti laporan yang diterima dari masyarakat, terutama dalam kasus yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi.
"Jika informasi, data, dan bukti telah cukup bahwa perbuatan tersebut ada tindak pidana korupsi, maka KPK akan mendalami setiap laporan yang diterima," ujarnya.
Pada 30 November 2022 lalu, Koalisi Solidaritas Pemuda Mahasiswa melaporkan Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto, dan sejumlah perwira Polri ke KPK. Pelaporan tersebut dilakukan karena adanya dugaan aliran dana tambang ilegal dari Ismail Bolong ke para perwira tersebut.
Koordinator aksi Koalisi Solidaritas Pemuda Mahasiswa, Giefrans Mahendra, berkata pihaknya melampirkan sejumlah bukti dalam laporan tersebut. Salah satunya, adalah surat hasil laporan pemeriksaan Div Propam terhadap Ismail Bolong yang bertandatangan eks Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.
"Video Ismail Bolong menguatkan keyakinan publik praktik kotor tersebut bukan sekadar rumor," kata Giefrans.
Bareskrim Polri tangani kasus tambang ilegal Ismail Bolong
Bareskrim Polri kemarin menyatakan telah menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur. Mereka adalah Ismail Bolong alias IB selaku pemilik PT Energindo Mitra Pratama (EMP) yang dituding melakukan penambangan batu bara ilegal, Rinto alias RP selaku Direktur PT EMP , dan Budi alias BP selaku operator pertambangan.
Mereka bertiga dikenakan Pasal 158 dan 161 UU Nomor 3 tahun 2020 tentang pertambangan Mineral dan Batu bara atau Minerba. Mereka juga dikenakan pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
Bareskrim Polri tak menjerat ketiga terdakwa dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Mereka juga tak mengusut soal dugaan aliran dana Ismail Bolong ke sejumlah perwira tinggi Polri.
Kronologi kasus Ismail Bolong
Kasus tambang ilegal Ismail Bolong mencuri perhatian publik pada awal November lalu saat video pengakuannya tersebar luas. Dalam video tersebut, Ismail mengaku mengalirkan dana tambang ilegal ke sejumlah perwira Polri. Diantaranya adalah Kabareskrim Komjen Agus Andrianto.
Setelah video itu tersebar luas, Ismail balik membantah. Dia menyatakan video itu dibuat pada Februari 2022 saat diperiksa oleh Divisi Propam Polri. Dia mengaku dibawa ke sebuah hotel dan diminta membacakan pernyataan tertulis yang telah disiapkan oleh seorang perwira Polri.
Setelah video itu tersebar, muncul pula laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh Divisi Propam Polri. Satu laporan ditandatangani oleh mantan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigjen Hendra Kurniawan, sementara satu laporan lainnya ditandatangani oleh mantan Kepala Div Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Keduanya kini menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua.
Dalam laporan itu juga dijelaskan secara rinci aliran dana Ismail Bolong ke para perwira Polri. Nilainya mencapai puluhan miliar. Sambo dalam laporannya kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan telah memiliki bukti yang cukup adanya aliran dana dan pembiaran aktivitas tambang ilegal oleh Ismail Bolong tersebut.
Hendra dan Sambo membenarkan dokumen tersebut. Namun, mereka tak mau berbicara soal tindak lanjut penyelidikan tersebut.
Kabareskrim Komjen Agus Andrianto membantah menerima aliran dana dari Ismail Bolong. Agus justru balik menyerang Hendra dan Sambo dengan mencurigai keduanya sebagai penerima aliran dana itu. Agus mempertanyakan kenapa Hendra dan Sambo tak segera menangkap Ismail.