TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum DPR, Fadli Zon, menyebut presidential threshold (PT) alias ambang batas presiden sebesar 20 persen mempersempit demokrasi. Pasalnya, demokrasi hanya dimaknai secara prosedural dan mudah dimanfaatkan oleh oligarki.
Menurutnya, yang berhak memilih presiden mestinya rakyat. Namun, ketentuan PT membuat ada pemilihan dan pembatasan oleh elit partai politik, sebelum capres diusung.
“Yang milih presiden itu kan harusnya rakyat, tapi ini ada semacam pemilihan pembatasan dulu oleh elite. Kita pernah punya 5 calon dan konstitusi kita mendesain 2 putaran supaya rakyat punya banyak pilihan menu,” kata Fadli Zon dalam diskusi publik bertajuk Dilema Pilpres 2024 di Jakarta Selatan, Sabtu, 1 Oktober 2022.
Menurut Fadli, adanya seleksi oleh partai politik ini membuat jumlah capres yang melenggang dalam Pilpres terbatas. Ia menilai ketentuan ini membuat helatan Pilpres tidak adil, sehingga perlu dikoreksi.
“Kadar demokrasi kita ini menurut saya penting untuk dikoreksi supaya benar-benar lebih banyak masyarakat yang punya akses, agar kita punya pilihan yang terbaik dalam Pilpres,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menyebut upaya mengubah PT bisa dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, ia menilai upaya tersebut belum cukup. Menurutnya, perjuangan mengubah PT mesti diiringi dengan komunikasi ke pimpinan partai politik.
“Dakwah dan perjuangan mengubah ambang batas ini, selain memang harus sering ke Mahkamah Konstitusi, memang harus sering-sering lagi ngomong sama pimpinan fraksi,” kata Adi.
Adi menyebut saat ini negara dikuasai dan dikendalikan oleh partai politik. Karenanya, untuk mengubah ketentuan seperti PT, komunikasi dengan partai menjadi sebuah keniscayaan.
Adapun ketentuan PT disebut Adi mengebiri hak politik masyarakat Indonesia. Jika upaya mengubah PT sukar dilakukan, Adi mengatakan cara lainnya adalah dengan mengubah aturan dalam UU Pemilihan Umum yang membolehkan calon perorangan bisa maju nyapres.
“Kalau pun toh 20 persen ini mustahil untuk dihilangkan, ya coba dong misalnya di UU Pemilu Tahun 2017 disebutkan bahwa calon perseorangan dibolehkan seperti halnya terjadi pada Pilkada. Pilkada boleh kenapa Presiden tak boleh?” ujarnya.
Ditolak Mahkamah Konstitusi
Upaya menggugat aturan PT telah beberapa kali dilakukan. Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan soal ambang batas pencalonan Presiden atau presidential threshold. Gugatan ini diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sekretaris Jenderal PKS, Aboe Bakar Alhabsyi, menghormati putusan MK. Kendati begitu, ia mengaku partainya kecewa karena tidak ada pemeriksaan pendalaman dalam proses gugatan.
“Sebagai pemohon kami menghormati putusan MK, meskipun kami kecewa karena tidak dilakukan pemeriksaan pendalaman,” kata Aboe saat dihubungi, Kamis, 29 September 2022.
Dia mengatakan gugatan yang diajukan PKS kepada MK merupakan bentuk kegelisahan terhadap kondisi demokrasi Indonesia. Gugatan ini, kata dia, juga sebagai upaya menyambung aspirasi rakyat.
“Catatan penting dalam gugatan itu bahwa, PKS memiliki legal standing untuk ajukan gugatan. Dan perkara yang diajukan PKS adalah gugatan baru, yang tidak termasuk dalam Ne Bis In Idem,” kata dia.
Menurut Aboe, kini perubahan ambang batas presiden sebesar 20 persen hanya dapat dilakukan di parlemen. Ia mengatakan hal ini bakal menjadi tantangan tersendiri ke depannya.
Adapun posisi PKS di parlemen saat ini disebut Aboe tidak mungkin memperjuangkan perubahan ambang batas presiden. Karenanya, PKS berjuang melalui MK. Aboe mengatakan PKS mesti menerima jika pada Pilpres 2024 hanya segelintir orang saja yang bisa berlaga. “Kita harus terima realitas politik, bahwa nanti 2024 hanya beberapa orang terbatas saja yang bisa maju ke Pilpres,” kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.