TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III DPR menyetujui Johanis Tanak untuk menggantikan Lili Pintauli Siregar sebagai Wakil Ketua KPK. Johanis mendapat 38 suara dalam pemilihan di Komisi III DPR, Rabu, 28 September 2022. Dia unggul atas calon lainnya, I Nyoman Wara, yang mendapat 14 suara. DPR mengesahkan nama Johanis Tanak sebagai Wakil Ketua KPK yang baru dalam rapat paripurna.
Berbagai komentar tentang Johanis Tanak
1. Mantan jaksa
Sebelum terpilih sebagai Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi di Jambi dan Sulawei Tengah. Menurut anggota Komisi Hukum DPR Benny Kabur Harman, latar belakang Johanis sebagai jaksa akan melengkapi komposisi pimpinan di lembaga antirasuah. Menurut dia, saat ini pimpinan KPK kebanyakan berasal dari unsur nonhukum.
“Polisi dan auditor sudah ada, dan dia ini kan jaksa, ya. Jadi, justru kehadiran beliau melengkapi komposisi pimpinan KPK yang ada sekarang ini,” kata Benny, Rabu, 28 September 2022.
Benny menjadi salah satu penyumbang suara bagi Johanis Tanak dalam pemilihan calon pimpinan KPK pengganti Lili Pintauli Siregar. Alasannya karena Johanis dalam memberantas korupsi menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Walaupun dia menyebut pendekatan ini sebenarnya tidak dikenal dalam pemberantasan korupsi.
2. Pandangan restorative justice
Johanis Tanak dalam uji kelayakan mengusulkan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice dalam penanganan kasus korupsi.
“Ada di UU (undang-undang) tentang BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Kalau BPK menemukan kerugian uang negara itu dikembalikan dalam tempo 60 hari, proses tidak dilakukan," kata Johanis usai mengikuti uji kelayakan di DPR, Rabu, 28 September 2022. "Kalau sudah dikembalikan, kemudian proses tetap berlangsung, berapa uang negara yang harus dikeluarkan?"
Menurut Johanis, pendekatan itu tepat karena anggaran negara untuk pembangunan bisa berjalan. Negara tidak perlu menggunakan anggaran untuk memproses pelaku tindak pidana korupsi.
3. Kritik terhadap pandangan Johanis
Pandangan Johanis tentang restorative justice untuk tindak pidana korupsi dinilai bisa semakin memberi impunitas koruptor. Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola mengkritik pandangan yang disampaikan Johanis. Menurut dia, ide Johanis bertentangan dengan kedudukan perkara korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Bertentangan pula dengan United Nation Convention Against Corruption atau UNCAC.
“Upaya menggeser penanganan kasus korupsi menjadi ultimum remedium melalui restorative justice harus didahului dengan adanya UU Perampasan Aset," kata Alvin, Rabu, 28 September 2022.
Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban, menyayangkan sikap Komisi III yang tak mendalami pemaparan Johanis itu. Uji kelayakan dan kepatutan kali ini sekadar formalitas belaka.
"Sebagai sebuah praktik baik, seharusnya DPR melakukan kembali fit and proper test. Karena itu, buat saya, tes (kemarin) itu formalitas," kata Lalola.
Baca: Johanis Tanak Jadi Pimpinan KPK, Impunitas Terhadap Koruptor Dikhawatirkan Semakin Menjadi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.