Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin juga menjelaskan alasan tim ini. "Untuk memberikan penekanan pada aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu, 17 Agustus 2022.
Ruhaini menyebut tim dibentuk sejalan dengan pemerintah dan DPR yang terus mempercepat pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung," kata Ruhaini.
Ruhaini juga mengungkapkan beberapa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pendekatan non-yudisial. Di antaranya seperti pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh pasca Daerah Operasi Militer, serta penyiapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua yang menjadi bagian dari UU Otonomi Khusus Papua.
Ruhaini mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu atau sebelum diundangkannya UU Pengadilan Hak Asasi Manusia dilakukan dengan dua pendekatan. Yudisial dan non-yudisial.
Meski ada penyelesaian non-yudisial, Ia menyebut penyelesaian yudisial tetap berjalan.
Secara yudisial, Ruhaini menyebut Jokowi telah menginstruksikan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM untuk terus melanjutkan proses hukum atas pelangggaran HAM berat.
Ia mencontohkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai Papua pada yang terjadi pada 2014. Dugaan kasus tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan. “Atas upaya ini, Presiden (Jokowi) mengapresiasi kesungguhan semua pihak, termasuk Kejagung dan Komnas HAM,” kata dia.
Kritik Setara Institute
Setara Institute mengkritik langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Setara menilai pembentukan tim itu hanya proyek mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran HAM masa lalu.
“Langkah pemerintah membuktikan bahwa Jokowi tidak mampu dan tidak mau menuntaskan kasus kasus pelanggaran HAM, bahkan yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM,” kata Ketua Setara Institute Hendardi, lewat keterangan tertulis Selasa, 16 Agustus 2022.
Hendardi mengatakan seharusnya pemerintah memilih untuk menggunakan mekanisme peradilan sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, kata dia, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik itu.
“Daya rusak tim ini akan berdampak luar biasa pada upaya pencarian keadilan karena tidak diberi mandat pencarian kebenaran untuk memenuhi hak korban dan publik,” kata dia.
Menurut dia, Jokowi telah mengingkari mandat UU pengadilan HAM karena memilih jalur nonyudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. “Dapat dibayangkan, segera setelah tim menyelesaikan tugasnya, maka Jokowi akan mengklaim bahwa semua pelanggaran HAM telah diselesaikannya,” kata Hendardi.
Menurut dia, Jokowi bukannya tidak paham alur penyelesaian pelanggaran HAM. Dia menduga Keputusan Presiden tentang pembentukan tim itu merupakan proyek dari pihak tertentu yang ingin mencetak prestasi kosong untuk Jokowi.
Baca: Menilik Kembali Temuan Komnas HAM di Kasus Unlawful Killing KM50