TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa adik Mardani H Maming, Rois Sunandar pada Senin, 29 Agustus 2022. KPK menelisik afiliasi antara Maming dengan sejumlah perusahaan pertambangan di Tanah Bumbu yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Didalami pengetahuan saksi mengenai dugaan adanya afiliasi tersangka dengan beberapa perusahaan,” kata juru bicara KPK Ali Fikri, Selasa, 30 Agustus 2022.
Ali mengatakan materi tersebut tidak hanya ditanyakan kepada Rois. KPK juga memeriksa seorang ibu rumah tangga bernama Eka Risnawati. Eka dicecar pertanyaan serupa dengan Rois, yakni dugaan hubungan Maming dengan sejumlah perusahaan yang mendapatkan IUP di Tanah Bumbu.
Selain kedua saksi tersebut, KPK memeriksa Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam tahun 2011, Fadli Ibrahim. Fadli ditanya penyidik seputar kewenangan dan tugasnya saat memegang jabatan tersebut.
KPK resmi menahan Mardani sebagai tersangka pada 28 Juli 2022. Politikus PDIP itu diduga terlibat korupsi terkait pengalihan IUP operasi dan produksi (IUP OP) pada 2011 ketika masih menjabat Bupati Tanah Bumbu.
Kasus bermula ketika yaitu Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), Henry Soetio, bermaksud mengambil alih IUP OP milik PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) seluas 370 hektar yang berlokasi di Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Pengalihan IUP OP ini dianggap melanggar pasal 93 Undang-Undang Pertambangan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pemegang IUP tak boleh mengalihkannya kepada pihak lain.
Maming yang juga menjabat sebagai Bendaraha Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) non aktif itu disebut mempertemukan Henry Soetio dengan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo pada 2011. Dwidjono merupakan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu saat itu.
Dalam pertemuan tersebut Maming diduga memerintahkan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo untuk membantu dan memperlancar pengalihan IUP OP itu. Selanjutnya, pada Juni 2011, politikus PDIP itu disebut mengeluarkan surat keputusan terkait peralihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN.
Mardani Maming, juga meminta Henry Soetio agar mengajukan pengurusan perizinan pelabuhan untuk menunjang aktifitas operasional pertambangan dan diduga usaha pengelolaan pelabuhan dimonopoli PT Angsana Terminal Utama (ATU) yang adalah perusahaan milik keluarga Mardani.
Adapun perusahan-perusahaan tersebut susunan direksi dan pemegang sahamnya masih berafiliasi dan dikelola pihak keluarga Maming dengan kendali perusahaan tetap dilakukan olehnya.
Pada 2012, PT ATU mulai melaksanakan operasional usaha membangun pelabuhan dalam kurun waktu 2012 hingga 2014 dengan sumber uang seluruhnya dari Henry Soetio, pemberiannya melalui permodalan dan pembiayaan operasional PT ATU.
Diduga terjadi beberapa kali pemberian sejumlah uang dari Henry Soetio kepada Mardani Maming melalui beberapa perantaraan orang kepercayaannya dan/atau beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Maming.
Untuk selanjutnya, dalam aktifitasnya dibungkus dalam perjanjian kerjasama underlying guna memayungi adanya dugaan aliran uang dari PT PCN melalui beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani Maming tersebut.
Jumlah uang yang disebut KPK jauh lebih besar dari yang terungkap dalam sidang kasus ini dengan terdakwa Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo. Dalam sidang, Christian Soetio, adik Henry Soetio, sempat menyatakan bahwa perusahaannya mentransfer uang sekitar Rp 89,5 miliar kepada perusahaan milik keluarga Mardani H Maming.