TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab, mendorong agar pengusutan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai, Papua, diusut hingga ke pejabat yang paling bertanggung jawab. Kasus tahun 2014 itu dalam waktu dekat bakal disidangkan di Pengadilan HAM Makassar dengan terdakwa mantan perwira penghubung pada Kodim Paniai, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu (IS).
Dalam kasus ini, IS dijerat dengan Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 40 jo Pasal 9 jo Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Amir, salah satu pasal tersebut berisi tentang tanggung jawab komando.
"Kalau tersangkanya hanya berpangkat mayor atau perwira penghubung Kodim, apakah dia yang paling bertanggung jawab? Seorang Perwira Penghubung, setahu saya, tidak bisa perintahkan batalion," ujar Wakil Ketua Komnas HAM Amir kepada Tempo, Senin, 22 Agustus 2022.
Menurut Amir, kekuasaan seorang perwira batalion sangat terbatas. Sehingga, IS diduga bukan pihak yang mengerahkan pasukan ke Paniai untuk menjalankan operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) di Painai. Amir menyebut pihak yang memerintahkan batalion lah yang harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Painai.
"Yang paling bertanggung jawab adalah batalion itu datang ke wilayah itu bukan iseng. Dia ditugaskan karena daerah itu dianggap rawan. Jadi Pamrahwan, itu siapa yang bikin?" kata Amir.
Amir menjelaskan Pasal 42 merupakan terjemahan dari Statuta Roma. Dalam versi aslinya, pasal tersebut mencari pihak yang paling bertanggung jawab berdasarkan rantai komando atas suatu peristiwa pelanggaran HAM. Oleh karena itu, ia berharap Kejaksaan Agung dapat menjalankan maksud pasal tersebut secara maksimal.
"Itu yang harus dikejar penyidiknya kalau mau melihat rantai komandonya. Pengadilan ini, kalau berjalan fair, bisa berguna untuk memperbaiki langkah-langkah penanganan ke depan," kata Amir.
Mengenai kronologi peristiwa Paniai ini, berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Kejadian ini ditengarai diawali oleh teguran kelompok pemuda kepada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil Toyota Fortuner Hitam tanpa menyalakan lampu. Teguran itu rupanya menyebabkan pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI.
Esok harinya, 8 Desember 2014, rombongan masyarakat Ipakiye berangkat menuju Enarotali, mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk meminta penjelasan. Masyarakat berkumpul di Lapangan Karel Gobai yang terletak di depan Polsek dan Koramil sambil menyanyi dan menari sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat sehari sebelumnya.
Merasa tak mendapat tanggapan, situasi memanas dan masyarakat mulai melempari pos polisi dan pangkalan militer dengan batu. Aparat menanggapi aksi tersebut dengan penembakan untuk membubarkan massa. Lima orang warga sipil tewas dalam kerusuhan Paniai, Papua ini.
M JULNIS FIRMANSYAH