TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengungkap alasan pemerintah membuka jalur non-yudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Menurut Mahfud, pemerintah menerbitkan Kepres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, lantaran penyelesaian kasus melalui jalur yudisial kerap menemukan kendala dalam pembuktian.
"Problem teknis yuridisnya, Kejaksaan Agung selalu meminta Komnas HAM memperbaiki, Komnas selalu juga merasa (berkas) sudah cukup. Padahal Kejaksaan Agung itu kalah kalau tidak diperbaiki seperti yang sudah-sudah, 34 orang bebas (di kasus Timor Timor). Oleh sebab itu, sudahlah, biar bolak-balik Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan DPR, sampai menemukan formulasi, kita buka yang jalur non-yudisial ini sebagai pengganti KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) . Kalau KKR menunggu UU lagi, enggak jadi-jadi. Sementara kita harus segera berbuat," ujar Mahfud lewat keterangan video yang dikutip pada Jumat, 19 Agustus 2022.
Menurut Mahfud Md, amanat undang-undang menyebut penyelesaian HAM masa lalu dapat dilakukan melalui jalur yudisial dan non-yudisial.
"Nah yang yudisial kan terus berjalan. Sekarang masih ada 13 masalah yang harus diselesaikan secara yudisial. Kita terus proses, bulan ini sudah masuk yang kasus Paniai, sisanya kita kembalikan kepada undang-undang. Kata UU, seluruh pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 itu diputuskan oleh DPR. Nah, yang sesudah 2000 ini kita sudah mulai masuk," ujar Mahfud.
Koalisi Masyarakat Sipil sebelumnya menilai Kepres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu melahirkan sejumlah polemik yang berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia. Dimulai dengan proses yang tertutup hingga dokumen yang tidak kunjung dapat diakses, menghadirkan tanda tanya soal latar belakang, motif dan komposisi individu yang dipilih Presiden untuk mengisi tim ini.
"Kami melihat upaya untuk memisahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial hanya sebagai kamuflase dari lemahnya negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan dan luar biasa di Indonesia ini," tulis koalisi lewat keterangan tertulis, Kamis, 18 Agustus 2022.
Koalisi belum melihat rujukan regulasi atau standar norma pengaturan yang dipilih presiden dan jajarannya dalam menyusun regulasi ini. Mengingat bahwa tidak ada dikotomi terminologi yudisial dan non-yudisial di dua regulasi utama soal penanganan pelanggaran HAM berat yakni UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
"Kepres tersebut secara tegas memperlihatkan bahwa pemerintah mengutamakan mekanisme non-yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu, dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap sudah menuntaskan pelanggaran HAM berat. Padahal ini hanya cara yang dipilih Pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial," tulis Koalisi.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai hal ini terjadi akibat adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan hari ini. Perihal efektivitas yang didasari oleh tugas dan fungsi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ini juga dipertanyakan. Keluaran yang diharapkan muncul seperti analisis pelanggaran HAM hingga pemulihan sejatinya sudah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
"Jika regulasi dan kelembagaan di level UU saja tidak berhasil karena tidak difungsikan secara maksimal, apalagi oleh tim yang dibentuk tanpa partisipasi publik yang memadai ini. Gagasan mengenai tim yang dibuat seolah menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap korban padahal ingin mengaburkan penuntasan pelanggaran HAM berat," tulis Koalisi.
Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kepres tersebut dicabut dan meminta Presiden Jokowi memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu.
"Kami mendesak DPR RI segera merekomendasikan dan/atau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc atas Peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Pemerintah dan DPR RI harus membahas RUU RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan membuka seluas-luasnya partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) khususnya penyintas dan keluarga korban Pelanggaran HAM Berat," demikian keterangan resmi Koalisi Masyarakat Sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil yang menolak Kepres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ini terdiri dari; Maria Catarina Sumarsih (Keluarga Korban Tragedi Semanggi 1), Suciwati (Istri Munir) KontraS, KontraS Aceh, Imparsial, INSERSIUM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, Human Rights Working Group (HRWG), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Amnesty International Indonesia.