TEMPO.CO, Jakarta - Gratifikasi dan suap merupakan dua istilah yang sangat lekat dengan tindakan rasuah atau korupsi. Dalam berbagai pemberitaan, keduanya sering kali digunakan secara bergantian meskipun memiliki makna yang berbeda.
Secara bahasa, mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi merupakan pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Sementara itu, suap diartikan secara lebih sederhana, yaitu uang pelicin atau alat sogok untuk kepentingan tertentu.
Walaupun secara kebahasaan perbedaan antara gratifikasi dan suap tidak begitu tampak, Eddy Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam laman kemenkumham.go.id menyampaikan bahwa perbedaan keduanya terletak pada adanya kesepakatan atau meeting of minds.
Pada kasus suap, kesepakatan tercipta antara penyuap dan yang disuap. Misalnya, seseorang akan memberikan imbalan dengan jumlah tertentu pada koleganya apabila ia mampu menaikkan jabatan orang tersebut. Peristiwa ini disebut suap apabila disepakati oleh dua belah pihak.
Sementara itu, terkait gratifikasi, Eddy menyampaikan bahwa imbalan diberikan tanpa kesepakatan terlebih dahulu. Misalnya, atasan mengangkat bawahannya menjadi sekretaris, lalu bawahan tersebut memberikan sesuatu, maka tindakan ini disebut gratifikasi.
Oleh karena itu, sebenarnya tidak semua gratifikasi merupakan tindakan berbahaya dan tergolong sebagai tindak korupsi. Sebab, merujuk Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 199 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, kata gratifikasi bermakna netral sehingga tidak ada ungkapan atau tindakan tercela dari makna kata tersebut.
Apabila merujuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan, setidaknya terdapat dua jenis gratifikasi, yaitu gratifikasi yang wajib dilaporkan dan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan.
Kendati demikian, Eddy tetap mewanti-wanti seluruh pegawai untuk menghindari dan menjaga diri dari tindakan gratifikasi, terlepas wajib atau tidaknya gratifikasi tersebut untuk dilaporkan. Menurutnya, jika seseorang mampu menghindari gratifikasi, maka ia juga dapat menghindari tindak suap atau kasus serupa lainnya.
Terlebih lagi, secara hukum, merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001, seseorang yang terbukti menerima gratifikasi berpotensi dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, orang tersebut akan di denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
ACHMAD HANIF IMADUDDIN
Baca: Selambatnya Berapa Hari Penerima Gratifikasi Harus Lapor ke KPK
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.