Hafidh Asrom, pengusaha furniture yang sudah menjalankan bisnisnya selama 26 tahun di Yogyakarta menceritakan, bila krisis keuangan pada 1998 lalu, hanya berdampak pada ekspor dalam negeri, namun krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat dan berimbas ke Indonesia itu berdampak besar pada ekspor luar negeri. “Ekspor luar negeri turun hingga 80 persen, hampir ke titik nol,” kata Hafidh.
Dengan turunnya ekspor luar negeri tersebut, praktis, ujarnya, dia hanya mengandalkan pasar dalam negeri yang masih prospektif. “Meski turun sampai 50 persen, namun pasar dalam negeri masih bisa diandalkan,” kata Hafidh.
Pengusaha tekstil, masih beruntung dibanding pengusaha furniture. Jadin C. Jamaludin, pengusaha tekstil yang juga Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Yogyakarta ini, mengaku ekspor luar negeri masih 50 persen. Pesanan itu, kata dia, masih aman sampai bulan Maret. Setelah bulan Maret, dia mengaku belum ada order. “Order bulan Maret kosong. Kalau memang tidak order, maka praktis tidak ada ekspor ke luar negeri,” ujarnya.
Dia tidak bisa memastikan order mampir ke perusahaannya. Berdasarkan pengalamannya, order dari luar negeri biasanya dilakukan enam bulan sampai satu tahun ke depan. “Mulai bulan April dan bulan selanjutnya itulah yang mengkhawatirkan,” ujarnya.
BERNADA RURIT